Merealisasikan
Restorative Justice sebagai
Alternatif Terbaik bagi
Perlindungan Anak yang Berhadapan dengan Hukum (ABH)
Oleh
: Hotibin, S.Sos., SH. MPSSp.
Latar
Belakang
Terdapat permasalahan
besar dalam praktik perlindungan anak yang berhadapan dengan hukum (ABH). Ada
kesenjangan antara kerangka kebijakan penanganan dengan praktik yang terjadi di
banyak tempat di Indonesia.
Konsep penanganan ABH
yang disepakati oleh para pemangku kebijakan mengharuskan kasus-kasus anak yang
berhadapan dengan hukum sedapat mungkin tidak dibawa ke proses hukum formal
(persidangan hingga vonis pidana). Namun kenyataannya, dari sekitar 7.000 kasus
ABH setiap tahunnya, sekitar 90 persen diproses pengadilan dan berakhir dengan
vonis pidana. Ini menunjukkan betapa mengkuatirkan perlindungan dan penanganan
ABH di tanah air ini.
Kasus-kasus ABH ini juga
menunjukkan ketimpangan nurani hukum. Seperti yang mengemuka di pemberitaan media
massa mengenai kasus-kasus anak yang disidangkan di pengadilan karena tuntutan
hukum pidana, seperti :
- Pengadilan Negeri Palu, Sulawesi Tengah, pada 5 Januari 2012 memproses tuntutan hukum dan menjatuhkan vonis bersalah pada seorang anak berusia 15 tahun yang didakwa melakukan pencurian sandal jepit.
- Pengadilan Negeri Denpasar, Bali pada 9 Januari 2012 menggelar sidang terhadap anak berusia 14 tahun yang didakwa melakukan penjambretan dengan nilai uang dalam tas yang dijambret ternyata hanya Rp 1.000,-
- Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada tahun 2011 juga pernah diproses sidang perkara pencurian kartu perdana telepon seluler yang nominalnya tidak lebih dari Rp 10.000,- oleh seorang anak, walau akhirnya dakwaan dibatalkan oleh hakim.
Kasus-kasus di
atas hanyalah sejumlah kecil dari contoh ironi penanganan kasus ABH. Restorative justice (Peradilan Restoratif/Pemulihan) sebagai
alternatif terbaik bagi penanganan kasus ABH belum terealisasi di tanah air
ini. Padahal secara yuridis, telah terdapat
kesepakatan bersama untuk penerapan mekanisme peradilan restoratif, yang
dinyatakan dalam Surat Keputusan Bersama antara Mahkamah Agung, Kejaksaan
Agung, Kepolisian RI, Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Sosial,
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, pada 22 Desember 2009
tentang Penanganan Anak yang Berhadapan dengan Hukum.
PEMBAHASAN
Analisis
Permasalahan
Perlindungan
anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar
dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai
dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari
kekerasan dan diskriminasi. Secara yuridis, ABH mendapatkan tempat sebagaimana
termuat dalam UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yang perlu
mendapatkan perlindungan khusus, dimana dinyatakan :
Perlindungan
khusus adalah perlindungan yang diberikan kepada anak dalam situasi darurat, anak
yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak
yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan,
anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan
zat adiktif lainnya (napza), anak korban penculikan, penjualan, perdagangan,
anak korban kekerasan baik fisik dan/atau mental, anak yang menyandang cacat,
dan anak korban perlakuan salah dan penelantaran.
ABH adalah anak yang
terlibat atau dilibatkan dalam perbuatan yang masuk dalam ranah pelanggaran
hukum. Tidak hanya sebagai pelaku, namun mencakup juga anak yang sebagai korban
dan saksi. Permasalahan ABH ini sangat kompleks, mulai dari kasus
pencurian, pembunuhan, pemerkosaan, perjudian, narkoba, perkelahian,
penganiayaan, pencambretan, dan berbagai kasus lainnya.
Dalam penanganan
kasus-kasus pelanggaran hukum tersebut, perlu suatu upaya atau mekanisme perlindungan
dan penanganan yang sensitif anak. Prinsip utama perlindungan ABH adalah
menjamin penanganan kasus pelanggaran hukum yang melibatkan anak dimana proses
dan hasilnya tetap menjamin kepentingan terbaik bagi anak, baik sebagai pelaku
maupun korban atau saksi.
Secara psikologi kondisi
mental seorang anak belum siap untuk berhadapan dengan proses-proses “keras”
dalam mekanisme peradilan yang lazim dihadapi oleh orang dewasa. Dalam proses
peradilan, keterlibatan anak apalagi bila anak sebagai pelaku dalam penyidikan,
penangkapan, penahanan, dan pemenjaraan dapat mengakibatkan trauma dan pengaruh
buruk terhadap masa depan anak.
Oleh karena itu, dalam
kerangka kebijakan perlindungan anak telah ditetapkan mekanisme terbaik untuk
penanganan ABH, yaitu yang disebut dengan Peradilan Restoratif (restorative
justice). Komite Perlindungan dan Rehabilitasi Sosial ABH mendefinisikan
Peradilan Restoratif yaitu, “Proses penanganan yang melibatkan semua pihak
untuk menyelesaikan pertikaian secara bersama-sama, memperbaiki kerusakan dan
kerugian pelanggaran hukum yang telah dilakukan seorang anak.”
Peradilan restoratif
bagi anak, intinya adalah penanganan kasus perbuatan anak yang melanggar norma
hukum yang berlaku (misalnya pencurian, kekerasan, penganiayaan, narkoba, dsb)
dengan sedapat mungkin dilakukan penyelesaian kasus di luar sistem hukum.
Apalagi bila yang terjadi adalah tindak pelanggaran hukum ringan, dan kerugian
yang ditimbulkan relatif tidak besar.
Peradilan restoratif
dilakukan dengan cara petugas dapat mempertemukan anak, orang tua/keluarga, dan
pihak yang dirugikan oleh perbuatan anak, sekolah atau pihak lain yang relevan,
lalu sedapat mungkin permasalahan diselesaikan secara musyawarah. Bila ada
kerugian segera dipulihkan, dan anak tidak perlu diproses hingga proses sidang
hukum formal di pengadilan, apalagi hingga jatuh vonis pidana.
Penyelesaian suatu masalah secara
musyawarah dan tanpa bersentuhan dengan sistem peradilan kini sedang
dikembangkan di seluruh dunia, dengan sebutan out of court settlement melalui penggunaan konsep restorative justice (peradilan
restoratif/pemulihan) sebagai lawan dari retributive
justice (peradilan berdasarkan balas dendam). Konsep ini diterapkan di
banyak Negara karena sejalan dengan perkembangan pemikiran dan perlindungan hak
asasi manusia (HAM) di dunia.
Kendalanya yang umumnya terjadi adalah kesiapan pada aparat hukum untuk
melaksanakan peradilan restoratif bagi anak. Kasus pencurian sandal oleh anak
di Palu, Sulawesi Selatan yang sampai dibawa ke sidang kasus pidana di Pengadilan
Negeri (bahkan penggugatnya adalah seorang aparat polisi) menunjukkan bahwa
aparat hukum masih banyak yang belum paham tentang perlindungan dan penanganan anak yang berhadapan dengan hukum.
Solusi
Untuk
mengembangkan restorative justice
yang benar-benar melibatkan partisipasi dan dukungan masyarakat dibutuhkan
pemenuhan setidaknya empat prasyarat.
1. Pengakuan
bersalah dari anak. Pemulihan atau rehabilitasi harus dimulai dengan pengakuan
atau rasa bersalah anak sebagai bentuk penerimaan terhadap perilakuknya yang
tidak sesuai dengan norma atau hukum yang berlaku.
2. Ada
penerimaan dari korban dan masyarakat yang telah merasa dirugikan akibat
perbuatan yang dilakukan anak tersebut.
3. Ada
kesadaran dari korban untuk menerima dan mengakui permohonan maaf yang
dilakukan anak.
4. Adanya
kerelaan dari aparat penegak hukum karena restorative
justice lebih mengutamakan musyawarah, dan bukan pengadilan.
Berdasarkan
pada keempat prasyarat tersebut, sedikitnya kita dapat mengetahui bahwa
peradilan restoratif dapat terwujud tergantung pada beberapa pihak, yaitu pihak
anak dan keluarganya sebagai pelaku, anak dan keluarganya sebagai korban,
masyarakat sekitar, dan pihak kepolisian.
Semisal,
korban tidak menginginkan penyelesaian masalah secara musyawarah (peradilan
restoratif) dan ingin melanjutkan kasusnya pada proses hukum di peradilan. Atau
pihak polisi yang karena ketidaktahuannya atau kurang kesadarannya tentang
peradilan restoratif membawa pelaku ke meja hijau. Dalam kondisi seperti ini mekanisme
peradilan restoratif tidak dapat terwujud. Di sisi lain, banyak kasus anak yang
dibawa atau diserahkan oleh masyarakat kepada pihak kepolisian. Hal ini merupakan
bukti-bukti bahwa peradilan restoratif belum memasyarakat di tengah-tengah kehidupan
kita, dan masih terkungkung pemikiran bahwa masalah kriminal/pelanggaran hukum
adalah urusan polisi atau pengadilan.
Dengan
demikian, maka kata kunci untuk terealisasinya peradilan restoratif bagi ABH
adalah membangun pemahaman dan kesadaran bersama tentang peradilan restoratif sebagai
alternatif terbaik dalam menanganan kasus ABH. Dalam upaya ini diperlukan
gerakan nasional (action plan) untuk
membangun pemahaman dan kesadaran semua pihak tentang peradilan restoratif.
PENUTUP
Kesimpulan
Dapat disimpulkan bahwa peradilan
restoratif merupakan alternatif terbaik dalam penyelesaian kasus ABH yang perlu
mendapatkan dukungan semua pihak. Untuk merealisasikan peradilan restoratif
bagi ABH di Indonesia, diperlukan pemahaman dan kesadaran bersama dari semua
lapisan, terutama pihak aparat penegak hukum (polisi), masyarakat/lingkungan
sekitar, anak baik sebagai pelaku, maupun korban serta keluarganya.
Rekomendasi
Dalam rangka menumbuhkan pemahaman dan
kesadaran semua pihak tentang peradilan
restoratif, maka langkah yang bisa ditempuh adalah :
- Optimalisasikan tugas, peran, dan fungsi Komite Perlindungan dan Rehabilitasi Sosial (KPRS) ABH dengan melakukan sosialisasi, advokasi,dan mediasi bagi ABH.
- Membangun jejaring kerja secara intensif antara pihak-pihak terkait, seperti KPRS ABH, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Komnas HAM Anak, Lembaga Kepolisian, Lembaga pendidikan, LSM, dan pihak lainnya.
- Meningkatkan kinerja Sakti Peksos yang bekerja pada kluster Anak Berhadapan dengan Hukum (ABH) dalam pananganan kasus-kasus ABH melalui peradilan restoratif.