Rabu, 20 November 2013

Restorative Justice sebagai Alternatif Terbaik bagi ABH



Merealisasikan Restorative Justice sebagai Alternatif Terbaik bagi 
Perlindungan Anak yang Berhadapan dengan Hukum (ABH)

Oleh : Hotibin, S.Sos., SH. MPSSp.


Latar Belakang
Terdapat permasalahan besar dalam praktik perlindungan anak yang berhadapan dengan hukum (ABH). Ada kesenjangan antara kerangka kebijakan penanganan dengan praktik yang terjadi di banyak tempat di Indonesia.
Konsep penanganan ABH yang disepakati oleh para pemangku kebijakan mengharuskan kasus-kasus anak yang berhadapan dengan hukum sedapat mungkin tidak dibawa ke proses hukum formal (persidangan hingga vonis pidana). Namun kenyataannya, dari sekitar 7.000 kasus ABH setiap tahunnya, sekitar 90 persen diproses pengadilan dan berakhir dengan vonis pidana. Ini menunjukkan betapa mengkuatirkan perlindungan dan penanganan ABH di tanah air ini.
Kasus-kasus ABH ini juga menunjukkan ketimpangan nurani hukum. Seperti yang mengemuka di pemberitaan media massa mengenai kasus-kasus anak yang disidangkan di pengadilan karena tuntutan hukum pidana, seperti :

  • Pengadilan Negeri Palu, Sulawesi Tengah, pada 5 Januari 2012 memproses tuntutan hukum dan menjatuhkan vonis bersalah pada seorang anak berusia 15 tahun yang didakwa melakukan pencurian sandal jepit.


  • Pengadilan Negeri Denpasar, Bali pada 9 Januari 2012 menggelar sidang terhadap anak berusia 14 tahun yang didakwa melakukan penjambretan dengan nilai uang dalam tas yang dijambret ternyata hanya Rp 1.000,-

  •  Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada tahun 2011 juga pernah diproses sidang perkara pencurian kartu perdana telepon seluler yang nominalnya tidak lebih dari Rp 10.000,- oleh seorang anak, walau akhirnya dakwaan dibatalkan oleh hakim.

Kasus-kasus di atas hanyalah sejumlah kecil dari contoh ironi penanganan kasus ABH. Restorative justice (Peradilan Restoratif/Pemulihan) sebagai alternatif terbaik bagi penanganan kasus ABH belum terealisasi di tanah air ini. Padahal secara yuridis, telah terdapat kesepakatan bersama untuk penerapan mekanisme peradilan restoratif, yang dinyatakan dalam Surat Keputusan Bersama antara Mahkamah Agung, Kejaksaan Agung, Kepolisian RI, Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Sosial, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, pada 22 Desember 2009 tentang Penanganan Anak yang Berhadapan dengan Hukum.

PEMBAHASAN
Analisis Permasalahan
Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Secara yuridis, ABH mendapatkan tempat sebagaimana termuat dalam UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yang perlu mendapatkan perlindungan khusus, dimana dinyatakan :

Perlindungan khusus adalah perlindungan yang diberikan kepada anak dalam situasi darurat, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza), anak korban penculikan, penjualan, perdagangan, anak korban kekerasan baik fisik dan/atau mental, anak yang menyandang cacat, dan anak korban perlakuan salah dan penelantaran.

ABH adalah anak yang terlibat atau dilibatkan dalam perbuatan yang masuk dalam ranah pelanggaran hukum. Tidak hanya sebagai pelaku, namun mencakup juga anak yang sebagai korban dan saksi. Permasalahan ABH ini sangat kompleks, mulai dari kasus pencurian, pembunuhan, pemerkosaan, perjudian, narkoba, perkelahian, penganiayaan, pencambretan, dan berbagai kasus lainnya.
Dalam penanganan kasus-kasus pelanggaran hukum tersebut, perlu suatu upaya atau mekanisme perlindungan dan penanganan yang sensitif anak. Prinsip utama perlindungan ABH adalah menjamin penanganan kasus pelanggaran hukum yang melibatkan anak dimana proses dan hasilnya tetap menjamin kepentingan terbaik bagi anak, baik sebagai pelaku maupun korban atau saksi.
Secara psikologi kondisi mental seorang anak belum siap untuk berhadapan dengan proses-proses “keras” dalam mekanisme peradilan yang lazim dihadapi oleh orang dewasa. Dalam proses peradilan, keterlibatan anak apalagi bila anak sebagai pelaku dalam penyidikan, penangkapan, penahanan, dan pemenjaraan dapat mengakibatkan trauma dan pengaruh buruk terhadap masa depan anak.
Oleh karena itu, dalam kerangka kebijakan perlindungan anak telah ditetapkan mekanisme terbaik untuk penanganan ABH, yaitu yang disebut dengan Peradilan Restoratif (restorative justice). Komite Perlindungan dan Rehabilitasi Sosial ABH mendefinisikan Peradilan Restoratif yaitu, “Proses penanganan yang melibatkan semua pihak untuk menyelesaikan pertikaian secara bersama-sama, memperbaiki kerusakan dan kerugian pelanggaran hukum yang telah dilakukan seorang anak.”
Peradilan restoratif bagi anak, intinya adalah penanganan kasus perbuatan anak yang melanggar norma hukum yang berlaku (misalnya pencurian, kekerasan, penganiayaan, narkoba, dsb) dengan sedapat mungkin dilakukan penyelesaian kasus di luar sistem hukum. Apalagi bila yang terjadi adalah tindak pelanggaran hukum ringan, dan kerugian yang ditimbulkan relatif tidak besar.
Peradilan restoratif dilakukan dengan cara petugas dapat mempertemukan anak, orang tua/keluarga, dan pihak yang dirugikan oleh perbuatan anak, sekolah atau pihak lain yang relevan, lalu sedapat mungkin permasalahan diselesaikan secara musyawarah. Bila ada kerugian segera dipulihkan, dan anak tidak perlu diproses hingga proses sidang hukum formal di pengadilan, apalagi hingga jatuh vonis pidana.
Penyelesaian suatu masalah secara musyawarah dan tanpa bersentuhan dengan sistem peradilan kini sedang dikembangkan di seluruh dunia, dengan sebutan out of court settlement melalui penggunaan konsep restorative justice (peradilan restoratif/pemulihan) sebagai lawan dari retributive justice (peradilan berdasarkan balas dendam). Konsep ini diterapkan di banyak Negara karena sejalan dengan perkembangan pemikiran dan perlindungan hak asasi manusia (HAM) di dunia.
Kendalanya yang umumnya terjadi adalah kesiapan pada aparat hukum untuk melaksanakan peradilan restoratif bagi anak. Kasus pencurian sandal oleh anak di Palu, Sulawesi Selatan yang sampai dibawa ke sidang kasus pidana di Pengadilan Negeri (bahkan penggugatnya adalah seorang aparat polisi) menunjukkan bahwa aparat hukum masih banyak yang belum paham tentang perlindungan dan penanganan  anak yang berhadapan dengan hukum.

Solusi
Untuk mengembangkan restorative justice yang benar-benar melibatkan partisipasi dan dukungan masyarakat dibutuhkan pemenuhan setidaknya empat prasyarat.
1.  Pengakuan bersalah dari anak. Pemulihan atau rehabilitasi harus dimulai dengan pengakuan atau rasa bersalah anak sebagai bentuk penerimaan terhadap perilakuknya yang tidak sesuai dengan norma atau hukum yang berlaku.
2.    Ada penerimaan dari korban dan masyarakat yang telah merasa dirugikan akibat perbuatan yang dilakukan anak tersebut.
3.  Ada kesadaran dari korban untuk menerima dan mengakui permohonan maaf yang dilakukan anak.
4. Adanya kerelaan dari aparat penegak hukum karena restorative justice lebih mengutamakan musyawarah, dan bukan pengadilan.
Berdasarkan pada keempat prasyarat tersebut, sedikitnya kita dapat mengetahui bahwa peradilan restoratif dapat terwujud tergantung pada beberapa pihak, yaitu pihak anak dan keluarganya sebagai pelaku, anak dan keluarganya sebagai korban, masyarakat sekitar, dan pihak kepolisian.
Semisal, korban tidak menginginkan penyelesaian masalah secara musyawarah (peradilan restoratif) dan ingin melanjutkan kasusnya pada proses hukum di peradilan. Atau pihak polisi yang karena ketidaktahuannya atau kurang kesadarannya tentang peradilan restoratif membawa pelaku ke meja hijau. Dalam kondisi seperti ini mekanisme peradilan restoratif tidak dapat terwujud. Di sisi lain, banyak kasus anak yang dibawa atau diserahkan oleh masyarakat kepada pihak kepolisian. Hal ini merupakan bukti-bukti bahwa peradilan restoratif belum memasyarakat di tengah-tengah kehidupan kita, dan masih terkungkung pemikiran bahwa masalah kriminal/pelanggaran hukum adalah urusan polisi atau pengadilan.
Dengan demikian, maka kata kunci untuk terealisasinya peradilan restoratif bagi ABH adalah membangun pemahaman dan kesadaran bersama tentang peradilan restoratif sebagai alternatif terbaik dalam menanganan kasus ABH. Dalam upaya ini diperlukan gerakan nasional (action plan) untuk membangun pemahaman dan kesadaran semua pihak tentang peradilan restoratif.

 PENUTUP
 Kesimpulan
Dapat disimpulkan bahwa peradilan restoratif merupakan alternatif terbaik dalam penyelesaian kasus ABH yang perlu mendapatkan dukungan semua pihak. Untuk merealisasikan peradilan restoratif bagi ABH di Indonesia, diperlukan pemahaman dan kesadaran bersama dari semua lapisan, terutama pihak aparat penegak hukum (polisi), masyarakat/lingkungan sekitar, anak baik sebagai pelaku, maupun korban serta keluarganya.

Rekomendasi
Dalam rangka menumbuhkan pemahaman dan kesadaran semua pihak tentang  peradilan restoratif, maka langkah yang bisa ditempuh adalah :

  • Optimalisasikan  tugas, peran, dan fungsi Komite Perlindungan dan Rehabilitasi Sosial (KPRS) ABH dengan melakukan sosialisasi, advokasi,dan mediasi bagi ABH.

  •  Membangun jejaring kerja secara intensif antara pihak-pihak terkait, seperti KPRS ABH, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Komnas HAM Anak, Lembaga Kepolisian, Lembaga pendidikan, LSM, dan pihak lainnya.

  • Meningkatkan kinerja Sakti Peksos yang bekerja pada kluster Anak Berhadapan dengan Hukum (ABH) dalam pananganan kasus-kasus ABH melalui peradilan restoratif.


Rabu, 13 November 2013

Membangun Partisipasi Masyarakat



Membangun Partisipasi Masyarakat
Oleh : Hotibin,S.Sos, SH. MPSSp.

Pembangunan yang dilaksanakan oleh pemerintah tentunya bertujuan untuk mencapai masyarakat yang sejahtera. Sehingga posisi masyarakat merupakan posisi yang penting dalam proses pelaksanaan pembangunan yang dilaksanakan oleh pemerintah. Pembangunan tidak akan pernah mencapai tujuannya jika meninggalkan masyarakat. Pembangunan akan dinilai berhasil jika pembangunan tersebut membawa sebuah perubahan kesejahteraan dalam masyarakat. Oleh karena itu dalam pelaksanaan pembagunan, partisipasi masyarakat merupakan hal yang sangat mempengaruhi keberhasilan proses pembangunan itu sendiri.
Secara etimologi, partisipasi berasal dari bahasa inggris “participation” yang berarti mengambil bagian/keikutsertaan. Dalam kamus lengkap Bahasa Indonesia dijelaskan “partisipasi” berarti: hal turut berperan serta dalam suatu kegiatan, keikutsertaan, peran serta. Partisipasi masyarakat berarti pengambilan bagian oleh masyarakat dalam suatu kegiatan. Di dalam praktek sehari-hari, partisipasi masyarakat dipahami atau ditafsirkan sebagai berikut (Pretty, dkk. 1995) :
a.  masyarakat bertanggung jawab untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan dari program pemerintah
b. anggota masyarakat ikut menghadiri pertemuan perencanaan, pelaksanaan dan pengkajian proyek, namun sebatas pendengar saja
c. anggota masyarakat terlibat secara aktif dalam pengambilan keputusan tentang cara melaksanakan sebuah proyek dan ikut menyediakan bantuan serta bahan-bahan yang dibutuhkan proyek
d. anggota masyarakat terlibat aktif dalam semua tahapan proses pengambilan keputusan, pengawasan dan monitoringnya
Secara umum pengertian dari partisipasi masyarakat dalam pembangunan adalah keperansertaan semua anggota atau wakil-wakil masyarakat untuk ikut membuat keputusan dalam proses perencanaan dan pengelolaan pembangunan termasuk di dalamnya memutuskan tentang rencana-rencana kegiatan yang akan dilaksanakan, manfaat yang akan diperoleh, serta bagaimana melaksanakan dan mengevaluasi hasil pelaksanaannya.
Pentingnya partisipasi ini didasarkan kepada pandangan bahwa dengan partisipasi masyarakat maka:
1.    lebih banyak hasil kerja yang dicapai.
2.    ada nilai dasar yang berarti bagi masyarakat karena menyangkut harga diri.
3.    pelayanan dapat diberikan dengan biaya yang murah.
4.    katalisator untuk program selanjutnya.
5.    mendorong tanggung jawab sosial.
6.    menjamin kebutuhan yang dirasakan masyarakat telah dilibatkan.
7.    pekerjaan dilaksanakan dengan arah yang benar.
8.    menghimpun dan memenfaatkan berbagai pengetahuan yang ada di masyarakat perpaduan keahlian.
9.    membebaskan orang dari ketergantungan terhadap keahlian orang lain.
10. lebih menyadarkan terhadap penyebab sehingga timbul kesadaran terhadap usaha untuk mengatasinya.
Meskipun demikian, partisipasi bukanlah sebuah kenyataan yang dapat terjadi begitu saja. Ada prasyarat untuk terjadinya partisipasi, yaitu:
1.    Kebebasan untuk berpartisipasi, yaitu otonomi
2.    Kemampuan nyata untuk berpartisipasi
3.    Kehendak untuk berpartisipasi
Dalam proses pembangunan/pengembangan masyarakat (community development), pemenuhan prasyarat untuk berpartisipasi harus diupayakan oleh pelaksana perubahan. Masyarakat harus diberi kekuatan dan lingkungan yang kondusif untuk dapat berpartisipasi. Hal ini dilakukan melalui pengkondisian secara simultan sebagai rangkaian dari proses pembangunan masyarakat.
T.R. Battern (Soebroto, 1988) menegaskan pembangunan masyarakat desa merupakan suatu proses dimana orang-orang yang ada di masyarakat tersebut pertama-tama mendiskusikan dan menetukan keinginan mereka kemudian merencanakan dan mengerjakan bersama-sama memenuhi keinginan mereka.
Talidazuhu Ndraha (Soebroto, 1988) memberikan beberapa kriteria yang terdapat dalam pembangunan masyarakat desa, yaitu :
  1. Adanya partisipasi aktif masyarakat dalam pembagunan
  2. Adanya rasa tanggungjawab masyarakat terhadap pembangunan
  3. Kemampuan masyarakat desa untiuk berkembang telah dapat ditingkatkan
  4. Prasarana fisik telah dapat dibangun dan dipelihara
  5. Lingkungan hidup yang serasi telah dapat dibangun dan dipelihara
Sedangkan Mely G. Tan dan Koentjaraningrat (Soebroto, 1988) memberikan beberapa hal yang dapat digunakan untuk menilai keberhasilan pembangunan masyarakat desa, yaitu :
  1. Hasil usaha pembaharuan tersebut harus dapat dilihat secara konkrit dalam waktu yang singkat
  2. Usaha pembaharuan tersebut harus dapat bermanfaat bagi masyarakat yang bersangkutan
  3. Usaha-usaha tersebut tidak boleh bertentangan dengan sistem nilai budaya dan norma-norma yang masih berlaku di dalam masyarakat desa
Sejalan dengan pemaparan diatas, dalam pelasanaan pembagunan yang direncanakan oleh pemerintah; partisipasi masyarakat merupakan hal yang sangat mempengaruhi keberhasilan proses pembangunan itu sendiri. Karena masyarakatlah yang mengetahui secara obyektif kebutuhan mereka.
Soetrisno memberikan dua macam definisi tentang partisipasi masyarakat dalam pembangunan, yaitu: pertama, partisipasi rakyat dalam pembangunan  sebagai dukungan rakyat terhadap rencana/proyek pembangunan yang dirancang dan ditentukan tujuannya oleh perencana. Ukuran tinggi rendahnya partisipasi rakyat dalam definisi ini diukur dengan kemauan rakyat untuk ikut bertanggungjawab dalam pembiayaan pembangunan, baik berupa uang maupun tenaga dalam melaksanakan proyek pembangunan pemerintah.
Kedua, partisipasi rakyat merupakan kerjasama yang erat antara perencana dan rakyat, dalam merencanakan, melaksanakan, melestarikan dan mengembangkan hasil pembangunan yang telah dicapai. Ukuran tinggi rendahnya partisipasi rakyat tidak hanya diukur dengan kemauan rakyat untuk menanggung biaya pembangunan, tetapi juga dengan ada tidaknya hak rakyat untuk ikut menentukan arah dan tujuan proyek yang akn dibangun di wilayah mereka (Soetrisno, 1995).
Bank Dunia (Suhartanta, 2001) memberikan definisi partisipasi sebagai suatu proses para pihak yang terlibat dalam suatu program/proyek, yang ikut mempengaruhi dan mengendalikan inisiatif pembangunan dan pengambilan keputusan serta pengelolaan sumber daya pembangunan yang mempengaruhinya.
Conyers (1991) memberikan tiga alasan utama sangat pentingnya partisipasi masyarakat dalam pembangunan, yaitu: (1) Partisipasi masyarakat merupakan suatu alat guna memperoleh informasi mengenai kondisi, kebutuhan dan sikap masyarakat setempat, yang tanpa kehadirannya program pembangunan dan proyek akan gagal, (2) Masyarakat mempercayai program pembagunan jika dilibatkan dalam proses persiapan dan perencanaannya, karena masyarakat lebih mengetahui seluk beluk proyek dan merasa memiliki proyek tersebut, (3) Partisipasi merupakan hak demokrasi masyarakat dalam keterlibatannya di pembangunan.
Sedangkan Moeljarto (1987) memberikan penjelasan tentang arti pentingnya partisipasi sebagai berikut :
1.      Rakyat adalah fokus sentral dan tujuan akhir pembangunan, partisipasi merupakan akibat logis dari dalil tersebut.
2.   Partisipasi menimbulkan rasa harga diri dan kemampuan pribadi untuk dapat turut serta dalam keputusan penting yang menyangkut masyarakat.
3.         Partisipasi menciptakan suatu lingkaran umpan balik arus informasi tentang sikap, aspirasi, kebutuhan dan kondisi daerah, yang tanpa keberadaannya tidak akan terungkap. Arus informasi ini tidak dapat dihindari untuk berhasilnya pembangunan.
4.        Pembangunan dilaksanakan lebih baik dengan memulai dari di mana rakyat berada dan dari apa yang mereka miliki.
5.         Partisipasi memperluas kawasan penerimaan proyek pembangunan.
6.         Partisipasi akan memperluas jangkauan pelayanan pemerintah kepada seluruh masyarakat.
7.         Partisipasi menopang pembangunan.
8.   Partisipasi menyediakan lingkungan yang kondusif baik bagi artkulasi potensi manusia maupun pertumbuhan manusia.
9.      Partsipasi merupakan cara efektif membangun kemampuan masyarakat untuk pengelolaan program pembangunan, guna memenuhi kebutuhan khas daerah.
10. Partisipasi dipandang sebagai cerminan hak-hak demokratis individu untuk dilibatkan dalam pembangunan mereka sendiri.
Adapun partisipasi masyarakat dalam pembangunan dapat berbentuk berbagai macam, yang secara umum dapat dijelaskan sebagi berikut : (1) Keterlibatan menentukan arah strategi dan kebijaksanaan pembangunan yang dilakukan pemerintah. Hal ini bukan saja berlangsung dalam proses politik, tetapi juga dalam proses sosial; hubungannya antara kelompok kepentingan dalam masyarakat, (2) Keterlibatan dalam memikul beban dan tanggungjawab dalam pelaksanaan pembangunan. Hal ini dapat berupa sumbangan dalam hal mobilisasi sumber-sumber pembiayaan pembangunan, kegiatan yang produktif serasi, dan pengawasan sosial atas jalannya pembangunan dan (3) Keterlibatan dalam memetik hasil dan manfaat pembangunan secara berkeadilan. Bagian-bagian daerah maupun golongan masyarakat tertentu dapat ditingkatkan keterlibatannya di dalam kegiatan produktif melalui perluasan kesempatan dan pembinaan.
Sedangkan Talizuduhu Ndraha memberikan pemaparan bentuk partisipasi, sebagai berikut:
1.         Partisipasi dalam/melalui kontak dengan pihak lain sebagai salah satu titik awal perubahan sosial
2.       Partisipasi dalam memperhatikan/menyerap dan memberi tanggapan terhadap informasi; baik dalam arti mengiyakan, menerima (mentaati, memenuhi, melaksanakan), mengiyakan dengan syarat maupun menolaknya
3.   Partisipasi dalam perencanaan pembangunan, termasuk dalam pengambilan keputusan. Perasaan terlibat dalam perencanaan perlu ditumbuhkan sedini mungkin di dalam masyarakat
4.         Partisipasi dalam operasional pembangunan
5.         Partisipasi dalam menerima kembali hasil pembangunan
6.    Partisipasi dalam menilai pembangunan, yaitu keterlibatan masyarakat dalam menilai sejauh mana pelaksanaan pembangunan sesuai dengan rencana dan sejauh mana hasilnya dapat memenuhi kebutuhan masyarakat
Soetrisno (1995) memberikan beberapa syarat  untuk mengembangkan sistem pembagunan yang partisipatif, yaitu : (1) Mendorong timbulnya pemikiran kreatif, baik dimasyarakat dan pelaksana pembangunan, (2) Toleransi yang besar terhadap kritik yang datang dari bawah dengan mengembangkan sifat positif thinking di kalangan aparat pelaksana,  (3) Menimbulkan budaya di kalangan pengelola pemerintahan/pembangunan wilayah untuk berani mengakui atas kesalahan yang mereka buat dalam merencanakan pembangunan di daerah mereka masing-masing dan (4) Menimbulkan kemampuan untuk merancang atas dasar skenario, (5) Menciptakan sistem evaluasi proyek pembangunan yang mengarah pada terciptanya kemampuan rakyat untuk secara mandiri mencari permasalahan pelaksanaan pembangunan dan pemecahan terhadap permasalahan itu sendiri .

REFERENSI
Nawa Murtiyanto. Partisipasi Masyarakat (Teori Ringkas),  Posted on October 12, 2011, http://bagasaskara.wordpress.com
Penguatan Tanggungjawab Sosial Masyarakat: Studi Kasus Desa Pesisir, Perencanaan Pembangunan, Majalah Triwulan, Edisi 01/Tahun XVI /2011