Rabu, 30 Oktober 2013

Konsepsi dan Misi Pemberdayaan



Konsepsi dan Misi Pemberdayaan
Oleh : Hotibin, S.Sos., SH. MPSSp.

Prinsip-prinsip pekerjaan sosial, seperti ”menolong orang agar mampu menolong dirinya sendiri” (to help people to help themselves), “penentuan nasib sendiri” (self determination), ”bekerja dengan masyarakat” (working with people) dan bukan ”bekerja untuk masyarakat”’ (working for people), menunjukkan betapa pekerjaan sosial memiliki komitmen yang kuat terhadap pemberdayaan masyarakat. (Suharto, 2005: 57).
Konsep pemberdayaan ini perlu dipahami secara tepat dalam konteks pemberdayaan masyarakat desa khususnya, umumnya dalam konteks Indonesia. Suharto (2005: 58-59) menyatakan beberapa pendapat ahli tentang definisi pemberdayaan (empowerment) yang dilihat dari tujuan, proses, dan cara-cara pemberdayaan :

  • Pemberdayaan bertujuan untuk meningkatkan kekuasaan orang-orang yang lemah atau tidak beruntung (Ife, 1995).

  • Pemberdayaan adalah sebuah proses dengan mana orang menjadi cukup kuat untuk berpartisipasi dalam, berbagai pengontrolan atas, dan mempengaruhi terhadap, kejadian-kejadian serta lembaga-lembaga yang mempengaruhi kehidupannya. Pemberdayaan menekankan bahwa orang memperoleh keterampilan, pengetahuan, dan kekuasaan yang cukup untuk mempengaruhi kehidupannya dan kehidupan orang lain yang menjadi perhatiannya (Parsons, et.al, 1994)
  • Pemberdayaan menunjuk pada usaha pengalokasian kembali kekuasaan melalui pengubahan struktur sosial (Swift dan Levin,1987).
  • Pemberdayaan adalah suatu cara dengan mana rakyat, organisasi dan komunitas diarahkan agar mampu menguasai (atau berkuasa atas) kehidupannya (Rappaport, 1984).

Bila dicermati dari pendapat-pendapat tersebut, terlihat bahwa pemberdayaan kental dengan kekuasaan, sebagaimana dari asal katanya ”power” atau kekuasaan. Dalam konteks pemberdayaan masyarakat desa sebagaimana penulis lakukan terasa ada suatu yang kurang mengena/cocok. Pemberdayaan masyarakat desa lebih tepat diartikan sebagai proses penciptaan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi lokal masyarakat berkembang.
Secara etimologis pemberdayaan berasal pada kata dasar “daya” yang berarti kekuatan atau kemampuan. Bertolak dari pengertian tersebut, maka pemberdayaan dapat dimaknai sebagai suatu proses menuju berdaya, atau proses untuk memperoleh daya/kekuatan/kemampuan, dan atau proses pemberian daya/kekuatan/ kemampuan dari pihak yang memiliki daya kepada pihak yang kurang atau belum berdaya. Artinya bukan to give power, tetapi lebih tepat to give ability.
Sumodiningrat (dalam Sulistiyani, 2004: 78) menyatakan bahwa pemberdayaan sebenarnya merupakan istilah yang khas Indonesia daripada Barat. Di barat istilah tersebut diterjemahkan sebagai empowerment, dan istilah itu benar tetapi tidak tepat. Pemberdayaan yang kita maksud adalah memberi “daya” bukanlah ”kekuasaan”. Empowerment dalam khasanah barat lebih bernuasa pemberiaan kekuasaan daripada pemberdayaan itu sendiri. Barangkali istilah yang paling tepat adalah “energize” atau ”memberi enerji”. Pemberdayaan adalah memberi enerji agar yang bersangkutan mampu untuk bergerak secara mandiri.
Bertolak pada pendapat di atas dapat dipahami bahwa untuk konteks barat apa yang disebut empowerment lebih merupakan pemberian kekuasaan daripada pemberiaan daya. Pengertian tersebut sangat wajar terbentuk, mengingat lahirnya konsep pemberdayaan di barat merupakan suatu reaksi atas pergulatan kekuasaan. Sedangkan dalam konteks Indonesia apa yang disebut dengan pemberdayaan merupakan suatu usaha untuk memberikan daya atau meningkatkan daya.
Mengingat perbedaan latar belakang sosial, budaya, politik dan lingkungan, maka dalam mengadopsi teori tidak dapat dilakukan secara mutlak. Seperti halnya dalam mengadopsi teori pemberdayaan. Kesadaran tentang perbedaan konteks memberikan sinyal bahwa dalam adopsi teori hendaknya tidak sekedar mentransformasikan dari suatu konteks ke dalam konteks lain entah itu negara, budaya, politik, maupun lingkungan. Dalam hal ini perlu dilakukan adaptasi yaitu suatu proses transformasi disertai dengan penyesuaian-penyesuaian seperlunya. Sebagaimana telah disampaikan oleh Sumodiningrat di atas, bahwa dalam memahami empowerment antara konteks barat dengan konteks Indonesia hendaknya berbeda. Dengan demikian aplikasi konsep pemberdayaan ke dalam bentuk pendekatan teknis tidak mengalami hambatan sosial, budaya, politik dan lingkungan. Oleh karenanya pemberdayaan yang dilakukan menjadi sesuai dengan tuntutan masyarakat.
Esensi penulis mengemukakan padangan tersebut bukanlah untuk menyatakan kesalahan dalam pendefinisian empowerment di Indonesia, karena penulis mengakui telah banyak pandangan ahli yang mengakomodir pemberdayaan pada konsep ”power” dan ”ability”, namun dalam hal ini ada suatu pelajaran bahwa dalam mengadopsi suatu teori dari barat hendaknya tidak sekedar mentransformasikan dari konteks barat ke konteks Indonesia, atau dengan kata lain bahwa dalam mengadopsi suatu teori sosial tidak dapat dilakakukan secara mutlak, tapi diperlukan penyesuai-penyesuaian dengan latar sosial, budaya, politik, dan lingkungan. Demikian juga dengan teori-teori pekerjaan sosial yang diadopsi dari barat, seharusnya dilakukan penyesuaian-penyesuaian dengan konteks ke-Indonesia-an, sehingga konsep pekerjaan sosial lebih tepat, dan dapat diaplikasikan di tanah air ini.
Selanjutnya Sulistiyani (2004:79), menyatakan asumsi bahwa tidak ada masyarakat yang sama sekali tanpa memiliki daya. Setiap masyarakat pasti memiliki daya, akan tetapi kadang-kadang mereka tidak menyadari, atau daya tersebut masih belum dapat diketahui secara eksplisit. Oleh karena itu harus digali dan kemudian dikembangkan. Jika asumsi ini yang berkembang, maka pemberdayaan adalah upaya untuk membangun daya dengan cara mendorong, memotivasi dan membangkitkan kesadaran akan potensi yang dimiliki serta berupaya untuk mengembangkannya. Di samping itu pemberdayaan hendaknya tidak menjebak masyarakat dalam perangkap ketergantungan, pemberdayaan sebaliknya harus mengantarkan pada proses kemandirian.
Freidmean, (dalam Handiyanti, 2006:41) menyatakan bahwa proses pemberdayan dapat dilakukan secara individual maupun kelompok (kolektif). Tetapi karena proses ini merupakan proses wujud perubahan sosial atau status hirarkhi lain yang dicirikan dengan adanya polarisasi ekonomi, maka kemampuan individu “senasib’’ untuk saling berkumpul dalam suatu kelompok cenderung dinilai sebagai bentuk pemberdayaan yang paling efektif.
Mengacu pada pernyataan ahli bahwa untuk mencapai keberhasilan program pemberdayaan masyarakat maka pemberdayaan harus memperhatikan misi-misi berikut :
a.  Penyadaran. Penyadaran berlangsung dalam proses pengenalan diri akan potensi diri dan lingkungan sebagai kekuatan yang bisa digerakkan secara optimal untuk memenuhi kebutuhan sendiri dalam kontek sosio-budaya dan struktur sosial. Penyadaran akan kemampuan diri, sumber daya yang mereka miliki, peluang baru yang bersumber dari dalam dan luar komunitas untuk memperbaiki kondisi, dan arti solidaritas antar warga dalam memenuhi kebutuhan merupakan misi pendampingan yang utama.
b. Pengorganisasian. Penguatan organisasi masyarakat mutlak diperlukan dalam upaya memberdayakan diri mereka, mengacu pada prinsip memanfaatkan potensi kelembagaan yang berakar kuat dalam struktur masyarakat lokal. Penilaian masyarakat terhadap kondisi kelembagaan yang dimiliki merupakan dasar bagi suatu tindakan penguatan organisasi yang memungkinkan masyarakat dan organisasinya dapat hidup dan berdaya (mandiri dan tangguh) dalam berinteraksi dengan kekuatan lain dalam konteks kehidupan yang lebih luas, serta mampu menghadapi pengaruh berbagai perubahan.
c.    Kaderisasi. Setiap program pada hakekatnya memiliki keharusan mempersiapkan kader-kader pengembangan keswadayaan lokal yang akan mengambil alih tugas pendampingan setelah program berakhir.
d.    Dukungan Teknis. Pembaharuan masyarakat setempat umumnya memerlukan bantuan suatu lembaga dari luar yang menguasai sumberdaya informasi dan teknologi yang dapat membantu mempercepat pembaharuan itu menjadi kenyataan. Organisasi pendukung teknis ini bisa pemerintah, perusahaan/swasta, LSM, maupun organisasi profesi.
e.    Pengelolaan sistem. Pengelolaan sistem mempunyai sejumlah peranan penting : Koordinasi diperlukan dalam penjadwalan tahapan kegiatan, yaitu menyangkut fungsi penyadaran, pelatihan, pengorganisasian dan penyediaan sumberdaya pendukung. Untuk itu perlu mempertemukan kepentingan beragam pihak. Fungsi pengelolaan sistem memastikan kemampuan pelayan, yakni menjamin kapasitas pelayan yang mencukupi pada jalur penyedia sumberdaya. Pengelolaan sistem harus mampu mengadakan penyesuaian-penyesuaian diambil menjalani proses pemberdayaan dan mampu menemukan pentahapan dalam menampilkan komponen-komponen sistem. (Hadiyanti, 2006:44-45).

Referensi
Hadiyanti, Puji. (2006). Kemiskinan & Upaya Pemberdayaan Masyarakat. Jurnal Pengembangan Masyarakat Islam. Volume 2, Nomor 1, Juni 2006.
Suharto, Edi. (2005). Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat: Kajian Strategis Pembangunan Kesejahteraan Sosial & Pekerjaan Sosial. Bandung: PT Rafika Aditama.
Sulistiyani, Ambar Teguh. (2004). Kemitraan dan Model-Model Pemberdayaan. Yogyakarta: Gava Media

2 komentar:

  1. nice post, ijin copas buat referensi ya gan

    BalasHapus
  2. Yuk Merapat Best Betting Online Hanya Di AREATOTO
    Dalam 1 Userid Dapat Bermain Semua Permainan
    Yang Ada :
    TARUHAN BOLA - LIVE CASINO - SABUNG AYAM - TOGEL ONLINE ( Tanpa Batas Invest )
    Sekedar Nonton Bola ,
    Jika Tidak Pasang Taruhan , Mana Seru , Pasangkan Taruhan Anda Di areatoto
    Minimal Deposit Rp 20.000 Dan Withdraw Rp.50.000
    Proses Deposit Dan Withdraw ( EXPRES ) Super Cepat
    Anda Akan Di Layani Dengan Customer Service Yang Ramah
    Website Online 24Jam/Setiap Hariny

    BalasHapus