Konsepsi dan Misi Pemberdayaan
Oleh
: Hotibin, S.Sos., SH. MPSSp.
Prinsip-prinsip pekerjaan sosial, seperti ”menolong orang
agar mampu menolong dirinya sendiri” (to
help people to help themselves), “penentuan nasib sendiri” (self determination), ”bekerja dengan
masyarakat” (working with people) dan
bukan ”bekerja untuk masyarakat”’ (working
for people), menunjukkan betapa pekerjaan sosial memiliki komitmen yang
kuat terhadap pemberdayaan masyarakat. (Suharto, 2005: 57).
Konsep pemberdayaan ini perlu dipahami secara tepat dalam
konteks pemberdayaan masyarakat desa khususnya, umumnya dalam konteks
Indonesia. Suharto (2005: 58-59) menyatakan beberapa pendapat ahli tentang definisi
pemberdayaan (empowerment) yang dilihat
dari tujuan, proses, dan cara-cara pemberdayaan :
- Pemberdayaan bertujuan untuk meningkatkan kekuasaan orang-orang yang lemah atau tidak beruntung (Ife, 1995).
- Pemberdayaan adalah sebuah proses dengan mana orang menjadi cukup kuat untuk berpartisipasi dalam, berbagai pengontrolan atas, dan mempengaruhi terhadap, kejadian-kejadian serta lembaga-lembaga yang mempengaruhi kehidupannya. Pemberdayaan menekankan bahwa orang memperoleh keterampilan, pengetahuan, dan kekuasaan yang cukup untuk mempengaruhi kehidupannya dan kehidupan orang lain yang menjadi perhatiannya (Parsons, et.al, 1994)
- Pemberdayaan menunjuk pada usaha pengalokasian kembali kekuasaan melalui pengubahan struktur sosial (Swift dan Levin,1987).
- Pemberdayaan adalah suatu cara dengan mana rakyat, organisasi dan komunitas diarahkan agar mampu menguasai (atau berkuasa atas) kehidupannya (Rappaport, 1984).
Bila dicermati dari pendapat-pendapat tersebut, terlihat
bahwa pemberdayaan kental dengan kekuasaan, sebagaimana dari asal katanya
”power” atau kekuasaan. Dalam konteks pemberdayaan masyarakat desa sebagaimana
penulis lakukan terasa ada suatu yang kurang mengena/cocok. Pemberdayaan
masyarakat desa lebih tepat diartikan sebagai proses penciptaan suasana atau
iklim yang memungkinkan potensi lokal masyarakat berkembang.
Secara etimologis pemberdayaan berasal pada kata dasar
“daya” yang berarti kekuatan atau kemampuan. Bertolak dari pengertian tersebut,
maka pemberdayaan dapat dimaknai sebagai suatu proses menuju berdaya, atau
proses untuk memperoleh daya/kekuatan/kemampuan, dan atau proses pemberian
daya/kekuatan/ kemampuan dari pihak yang memiliki daya kepada pihak yang kurang
atau belum berdaya. Artinya bukan to give power, tetapi lebih tepat to give ability.
Sumodiningrat (dalam
Sulistiyani, 2004: 78) menyatakan bahwa pemberdayaan sebenarnya merupakan
istilah yang khas Indonesia daripada Barat. Di barat istilah tersebut
diterjemahkan sebagai empowerment,
dan istilah itu benar tetapi tidak tepat. Pemberdayaan yang kita maksud adalah
memberi “daya” bukanlah ”kekuasaan”. Empowerment
dalam khasanah barat lebih bernuasa pemberiaan kekuasaan daripada pemberdayaan
itu sendiri. Barangkali istilah yang
paling tepat adalah “energize” atau ”memberi
enerji”. Pemberdayaan adalah memberi enerji agar yang bersangkutan mampu untuk
bergerak secara mandiri.
Bertolak pada pendapat di atas dapat dipahami bahwa untuk
konteks barat apa yang disebut empowerment
lebih merupakan pemberian kekuasaan daripada pemberiaan daya. Pengertian
tersebut sangat wajar terbentuk, mengingat lahirnya konsep pemberdayaan di
barat merupakan suatu reaksi atas pergulatan kekuasaan. Sedangkan dalam konteks
Indonesia apa yang disebut dengan pemberdayaan merupakan suatu usaha untuk
memberikan daya atau meningkatkan daya.
Mengingat perbedaan latar belakang sosial, budaya,
politik dan lingkungan, maka dalam mengadopsi teori tidak dapat dilakukan
secara mutlak. Seperti halnya dalam mengadopsi teori pemberdayaan. Kesadaran
tentang perbedaan konteks memberikan sinyal bahwa dalam adopsi teori hendaknya
tidak sekedar mentransformasikan dari suatu konteks ke dalam konteks lain entah
itu negara, budaya, politik, maupun lingkungan. Dalam hal ini perlu dilakukan
adaptasi yaitu suatu proses transformasi disertai dengan
penyesuaian-penyesuaian seperlunya. Sebagaimana telah disampaikan oleh
Sumodiningrat di atas, bahwa dalam memahami empowerment
antara konteks barat dengan konteks Indonesia hendaknya berbeda. Dengan
demikian aplikasi konsep pemberdayaan ke dalam bentuk pendekatan teknis tidak
mengalami hambatan sosial, budaya, politik dan lingkungan. Oleh karenanya
pemberdayaan yang dilakukan menjadi sesuai dengan tuntutan masyarakat.
Esensi penulis mengemukakan padangan tersebut bukanlah
untuk menyatakan kesalahan dalam pendefinisian empowerment di Indonesia, karena penulis mengakui telah banyak
pandangan ahli yang mengakomodir pemberdayaan pada konsep ”power” dan ”ability”,
namun dalam hal ini ada suatu pelajaran bahwa dalam mengadopsi suatu teori dari
barat hendaknya tidak sekedar mentransformasikan dari konteks barat ke konteks
Indonesia, atau dengan kata lain bahwa dalam mengadopsi suatu teori sosial
tidak dapat dilakakukan secara mutlak, tapi diperlukan penyesuai-penyesuaian
dengan latar sosial, budaya, politik, dan lingkungan. Demikian juga dengan
teori-teori pekerjaan sosial yang diadopsi dari barat, seharusnya dilakukan
penyesuaian-penyesuaian dengan konteks ke-Indonesia-an, sehingga konsep pekerjaan
sosial lebih tepat, dan dapat diaplikasikan di tanah air ini.
Selanjutnya Sulistiyani (2004:79), menyatakan asumsi
bahwa tidak ada masyarakat yang sama sekali tanpa memiliki daya. Setiap
masyarakat pasti memiliki daya, akan tetapi kadang-kadang mereka tidak
menyadari, atau daya tersebut masih belum dapat diketahui secara eksplisit.
Oleh karena itu harus digali dan kemudian dikembangkan. Jika asumsi ini yang
berkembang, maka pemberdayaan adalah upaya untuk membangun daya dengan cara
mendorong, memotivasi dan membangkitkan kesadaran akan potensi yang dimiliki
serta berupaya untuk mengembangkannya. Di samping itu pemberdayaan hendaknya tidak
menjebak masyarakat dalam perangkap ketergantungan, pemberdayaan sebaliknya
harus mengantarkan pada proses kemandirian.
Freidmean, (dalam Handiyanti, 2006:41) menyatakan bahwa proses
pemberdayan dapat dilakukan secara individual maupun kelompok (kolektif).
Tetapi karena proses ini merupakan proses wujud perubahan sosial atau status
hirarkhi lain yang dicirikan dengan adanya polarisasi ekonomi, maka kemampuan
individu “senasib’’ untuk saling berkumpul dalam suatu kelompok cenderung
dinilai sebagai bentuk pemberdayaan yang paling efektif.
Mengacu pada pernyataan ahli bahwa untuk mencapai
keberhasilan program pemberdayaan masyarakat maka pemberdayaan harus
memperhatikan misi-misi berikut :
a. Penyadaran. Penyadaran berlangsung
dalam proses pengenalan diri akan potensi diri dan lingkungan sebagai kekuatan
yang bisa digerakkan secara optimal untuk memenuhi kebutuhan sendiri dalam kontek
sosio-budaya dan struktur sosial. Penyadaran akan kemampuan diri, sumber daya
yang mereka miliki, peluang baru yang bersumber dari dalam dan luar komunitas
untuk memperbaiki kondisi, dan arti solidaritas antar warga dalam memenuhi
kebutuhan merupakan misi pendampingan yang utama.
b. Pengorganisasian. Penguatan organisasi
masyarakat mutlak diperlukan dalam upaya memberdayakan diri mereka, mengacu
pada prinsip memanfaatkan potensi kelembagaan yang berakar kuat dalam struktur
masyarakat lokal. Penilaian masyarakat terhadap kondisi kelembagaan yang
dimiliki merupakan dasar bagi suatu tindakan penguatan organisasi yang
memungkinkan masyarakat dan organisasinya dapat hidup dan berdaya (mandiri dan tangguh)
dalam berinteraksi dengan kekuatan lain dalam konteks kehidupan yang lebih luas,
serta mampu menghadapi pengaruh berbagai perubahan.
c. Kaderisasi. Setiap program pada
hakekatnya memiliki keharusan mempersiapkan kader-kader pengembangan
keswadayaan lokal yang akan mengambil alih tugas pendampingan setelah program
berakhir.
d. Dukungan Teknis. Pembaharuan masyarakat
setempat umumnya memerlukan bantuan suatu lembaga dari luar yang menguasai sumberdaya
informasi dan teknologi yang dapat membantu mempercepat pembaharuan itu menjadi
kenyataan. Organisasi pendukung teknis ini bisa pemerintah, perusahaan/swasta,
LSM, maupun organisasi profesi.
e. Pengelolaan sistem. Pengelolaan sistem
mempunyai sejumlah peranan penting : Koordinasi diperlukan dalam penjadwalan
tahapan kegiatan, yaitu menyangkut fungsi penyadaran, pelatihan, pengorganisasian
dan penyediaan sumberdaya pendukung. Untuk itu perlu mempertemukan kepentingan
beragam pihak. Fungsi pengelolaan sistem memastikan kemampuan pelayan, yakni
menjamin kapasitas pelayan yang mencukupi pada jalur penyedia sumberdaya. Pengelolaan
sistem harus mampu mengadakan penyesuaian-penyesuaian diambil menjalani proses
pemberdayaan dan mampu menemukan pentahapan dalam menampilkan komponen-komponen
sistem. (Hadiyanti, 2006:44-45).
Referensi
Hadiyanti,
Puji. (2006). Kemiskinan & Upaya
Pemberdayaan Masyarakat.
Jurnal Pengembangan Masyarakat Islam. Volume 2, Nomor 1, Juni 2006.
Suharto,
Edi. (2005). Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat: Kajian Strategis Pembangunan
Kesejahteraan Sosial & Pekerjaan Sosial. Bandung: PT Rafika Aditama.
Sulistiyani, Ambar Teguh. (2004). Kemitraan
dan Model-Model Pemberdayaan. Yogyakarta: Gava Media
nice post, ijin copas buat referensi ya gan
BalasHapusYuk Merapat Best Betting Online Hanya Di AREATOTO
BalasHapusDalam 1 Userid Dapat Bermain Semua Permainan
Yang Ada :
TARUHAN BOLA - LIVE CASINO - SABUNG AYAM - TOGEL ONLINE ( Tanpa Batas Invest )
Sekedar Nonton Bola ,
Jika Tidak Pasang Taruhan , Mana Seru , Pasangkan Taruhan Anda Di areatoto
Minimal Deposit Rp 20.000 Dan Withdraw Rp.50.000
Proses Deposit Dan Withdraw ( EXPRES ) Super Cepat
Anda Akan Di Layani Dengan Customer Service Yang Ramah
Website Online 24Jam/Setiap Hariny