(Merefleksi
Pentingnya WKSBM)
Hotibin,
S.Sos. SH., MPSSp.
ABSTRAK
Dalam konteks penyelenggaraan kesejahteraan sosial, modal sosial memiliki pengaruh yang sangat menentukan. Dalam suatu komunitas yang memiliki modal sosial rendah, kualitas penyelenggaraan kesejahteraan sosial akan tertinggal. Beberapa dimensi pembangunan yang sangat
dipengaruhi oleh modal sosial antara lain kemampuannya menyelesaikan berbagai
masalah kolektif, mendorong roda perubahan yang cepat di tengah masyarakat,
memperluas kesadaran bersama bahwa banyak jalan yang bisa dilakukan oleh setiap
anggota kelompok untuk memperbaiki nasib secara bersama-sama, memperbaiki mutu
kehidupan seperti meningkatkan kesejahteraan, dan banyak keuntungan lainnya
yang dapat diperoleh. Bangsa yang memiliki Modal Sosial tinggi akan cenderung
lebih efisien dan efektif menjalankan berbagai kebijakan untuk mensejahterakan
rakyatnya.
Suatu kelompok masyarakat yang memiliki modal sosial tinggi akan membuka kemungkinan menyelesaikan kompleksitas permasalahan
kesejahteraan sosial dengan lebih mudah. Hal ini memungkinkan terjadi terutama
pada masyarakat yang terbiasa hidup dengan rasa saling mempercayai yang tinggi, bersatu dan memiliki hubungan sosial
(jejaring sosial) secara intensif dan
dengan didukung oleh semangat kebaikan untuk hidup saling menguntungkan dan
saling memberi.
Latar
Belakang
Pencapaian pembangunan Indonesia masih
dari memuaskan. Pemerintahan silih
berganti, tetapi Indonesia seperti jalan di tempat. Pengangguran terus
bertambah. Kemiskinan semakin sulit dikendalikan. Kriminalitas terus
meningkat, konflik sosial terjadi di mana-mana.
Investasi swasta semakin sulit berkembang. Perusahaan-perusahaan industri dalam
negeri semakin sulit bersaing. Bangsa Indonesia jika tidak diwaspadai dari
sekarang, tidak saja akan menjadi serambi belakang bangsa Asia, tetapi lebih
jauh menjadi pusat tontonan tentang sebuah bangsa yang terus menerus perlu
dikasihani.
Desa-desa di Indonesia sebetulnya tidak miskin. Rakyatnya
hidup di tanah yang subur. Sungai mengalir lebar dan ikan-ikan, beberapa waktu
yang lalu, pernah melimpah ruah. Rakyat tidak mengalami kekurangan. Saat ini,
yang hilang di desa sebenarnya bukanlah ikan-ikan di sungai, bukan hutan
sebagai sumber kehidupan, bukan hama babi dan tikus yang mengganggu padi, bukan
karena pemerintah mengalirkan subsidi pengganti Bahan Bakar Minyak (BBM) dalam
jumlah yang kurang besar. Yang hilang adalah sebuah energi. Yang tidak tampak
adalah energi kolektif masyarakat untuk mengatasi problem bersama.
Mereka menjerit minta agar gedung sekolah diperbaiki,
tetapi tidak ada upaya bersama begaimana memelihara gedung itu dan membetulkan
plafon yang ambruk sebelum datang bantuan dari pemerintah. Mereka menghendaki
jalan desa mulus dan tidak lagi berlumpur, tetapi tidak gerakan untuk bergotong
royong mengatasi jalan yang rusak. Mereka menjerit tentang tikus dan babi,
tetapi langkah bersama untuk mengatasinya juga tidak terlihat. Mereka mengeluh
miskin, tetapi di desa yang miskin tersebut, tanah-tanah pekarangan yang masih
luas dibiarkan kosong. Untuk mengkonsumsi sayuran pun mereka enggan menanam,
tetapi harus membeli dari pasar.
Kebersamaan masyarakat desa saat ini hanya terbatas untuk
urusan-urusan perayaan
kematian, perkawinan, dan tahlilan. Kehidupan memberi warna dikotomistik. Di
satu sisi, untuk acara-acara ritual terlihat ada kebersamaan. Di sisi lain,
untuk meningkatkan mutu kehidupan bersama, mereka menunjukkan sikap hidup
kemasing-masingan. Tidak terlihat kepedulian dan kebersamaan untuk mengatasi
berbagai masalah ekonomi, sosial dan lingkungan fisik yang muncul dan
membelenggu kehidupan mereka. Kondisi ini mencerminkan bahwa masyarakat sedang
tertimpa penyakit yang sangat kronis, yaitu hilangnya kebersamaan dan energi
kelompok karena hilangnya Modal sosial (Social Capital) tersebut.
Di negeri yang besar dan dengan kompleksitasnya
persoalan, dimensi modal sosial hampir diabaikan, jauh berada di luar alam pikir
pembangunan. Padahal di berbagai belahan dunia dewasa ini, kesadaran akan
pentingnya faktor tersebut cukup tinggi, dan sedang menjadi kepedulian bersama.
Modal sosial diyakini sebagai salah satu komponen utama dalam
menggerakkan kebersamaan, mobilitas ide, kesalingpercayaan, dan
kesalingmenguntungkan untuk mencapai kesejahteraan dan kemajuan bersama.
Fukuyama (1999) dengan meyakinkan berargumentasi bahwa
Modal Sosial memegang peranan yang sangat penting dalam memfungsikan dan
memperkuat kehidupan masyarakat modern. Modal sosial sebagai persyaratan bagi pembangunan manusia, pembangunan ekonomi, sosial,
politik, dan stabilitas demokrasi. Di dalamnya merupakan komponen kultural bagi
kehidupan masyarakat modern. Korupsi dan penyimpangan yang terjadi di berbagai
belahan bumi dan terutama di negara-negara berkembang Asia, Afrika, dan Amerika
Latin, salah satu determinan utamanya adalah rendahnya modal sosial yang tumbuh di tengah masyarakat. Modal sosial yang lemah akan
meredupkan semangat gotong royong, memperparah kemiskinan, meningkatkan
pengangguran, kriminalitas dan menghalangi setiap upaya untuk meningkatkan
kesejahteraan penduduk.
Istilah
modal sosial (social capital) sudah
lama muncul dalam literatur. Istilah ini pertama kali muncul di tahun 1916 di
saat ada diskusi tentang upaya membangun pusat pembelajaran masyarakat (Cohen
& Prusak, 2001). Konsep modal sosial diangkat kepermukaan sebagai wacana
ilmiah oleh James S. Coleman (1990). Pembahasan tentang konsep modal sosial
akhir-akhir ini semakin hangat setelah munculnya tulisan Putnam (1993) yang
menggambarkan kualitas kehidupan masyarakat Amerika yang makin menurun dalam
hal kelekatan antar sesama warga (Putnam, 1993).
Diskusi
terhadap konsep ini semakin lengkap setelah terbit dua buku yang ditulis oleh
Francis Fukuyama (1995, 2000). Yang pertama adalah Trust: The Social Virtues
and the Creation of Prosperity yang terbit tahun 1995. Kemudian diikuti oleh
buku yang kedua yang lebih mutakhir dengan judul “The Great Depression: Human Nature and the Reconstitution of Social
Order” yang diterbitkan di tahun 2000. Di samping tulisan Fukuyama, buku
tulisan Robert Putnam yang berjudul “Bowling
Alone: The Collapse and Revival of American Community” yang terbit tahun
2000 juga menjadi pemicu pembahasan terhadap konsep modal sosial. Selain itu
muncul berbagai artikel jurnal yang membahas topik tersebut dengan mengajukan
berbagai pendapat tentang apa yang dimaksud dengan modal sosial.
Munculnya
berbagai tulisan tentang modal sosial adalah suatu respon terhadap semakin
merenggangnya hubungan antar manusia, dan semakin melemahnya ketidakpedulian
terhadap sesama manusia. Fukuyama (1995) sangat kuatir tentang masa depan
komunitas manusia yang diutarakannya seperti berikut: “We no longer have realistic hopes that we can create a “great society”
through large government program”. Kehadiran masyarakat yang menekankan
pada kehidupan yang menekankan pada ekonomi yang terlalu tertuju pada
pertumbuhan seperti yang diutarakan oleh Wachtel (1989) telah menghantarkan
manusia pada kehancuran. Di mata Fukuyama (2000) transisi masyarakat dari
masyarakat industri menuju masyarakat informasi semakin memperenggang ikatan
sosial dan melahirkan banyaknya patologi sosial seperti meningkatnya angka
kejahatan, anak-anak lahir di luar nikah dan menurunnya kepercayaan pada sesama
komponen masyarakat.
Dalam
upaya membangun sebuah bangsa yang kompetitif peranan modal sosial semakin
penting. Banyak kontribusi modal sosial untuk kesuksesan suatu masyarakat.
Dalam era informasi yang ditandai semakin berkurangnya kontak berhadapan muka (face to face relationship), modal sosial
sebagai bagian dari modal maya (virtual
capital) akan semakin menonjol peranannya (lihat Ancok, 1998)
Konsep Modal Sosial
Modal sosial adalah sumberdaya yang dapat dipandang sebagai investasi untuk
mendapatkan sumberdaya baru. Seperti diketahui bahwa sesuatu yang disebut
sumberdaya (resources) adalah sesuatu yang dapat dipergunakan untuk
dikonsumsi, disimpan, dan diinvestasikan. Sumberdaya yang digunakan untuk
investasi disebut sebagai modal. Dimensi modal sosial cukup luas dan kompleks. Modal sosial berbeda dengan istilah populer lainnya, yaitu Modal
Manusia (human capital). Pada modal manusia segala sesuatunya lebih
merujuk ke dimensi individual yaitu daya dan keahlian yang dimiliki oleh
seorang individu. Pada Modal sosial lebih menekankan pada potensi kelompok dan pola-pola hubungan
antarindividu dalam suatu kelompok dan antarkelompok dengan ruang perhatian
pada jaringan sosial, norma, nilai, dan kepercayaan antarsesama yang lahir dari
anggota kelompok dan menjadi norma kelompok.
Apa
itu modal social atau social capital ?. Para ahli banyak memberikan
definisi tentang modal sosial diantaranya, yaitu :
· Menurut James Colemen (1990) modal sosial
merupakan inheren dalam struktur relasi antarindividu. Struktur relasi
membentuk jaringan sosial yang menciptakan berbagai ragam kualitas sosial
berupa saling percaya, terbuka, kesatuan norma, dan menetapkan berbagai jenis
sanksi bagi anggotanya.
·
Francis Fukuyama (2003) menekankan pada dimensi yang lebih luas yaitu segala
sesuatu yang membuat masyarakat bersekutu untuk mencapai tujuan bersama atas
dasar kebersamaan, dan di dalamnya diikat oleh nilai-nilai dan norma-norma yang
tumbuh dan dipatuhi. Situasi tersebutlah yang akan menjadi resep kunci bagi
keberhasilan pembangunan di segala bidang kehidupan, dan terutama bagi
kestabilan pembangunan ekonomi dan demokrasi. Pada masyarakat yang secara
tradisional telah terbiasa dengan bergotong royong serta bekerjasama dalam
kelompok atau organisasi yang besar cenderung akan meraskan kemajuan dan akan
mampu, secara efisien dan efektif, memberikan kontribusi penting bagi kemajuan dan
kesejahteraan bangsa dan masyarakat.
·
Putnam
(1995) mengartikan modal sosial sebagai “features of social organization
such as networks, norms, and social trust that facilitate coordination and
cooperation for mutual benefit”. Modal sosial menjadi perekat bagi setiap
individu, dalam bentuk norma, kepercayaan dan jaringan kerja, sehingga terjadi
kerjasama yang saling menguntungkan untuk mencapai tujuan bersama. Modal sosial
juga dipahami sebagai pengetahuan dan pemahaman yang dimiliki bersama oleh
komunitas, serta pola hubungan yang memungkinkan sekelompok individu melakukan
satu kegiatan yang produktif.
·
Pierre Bourdieu, menegaskan tentang modal sosial mengacu pada keuntungan
dan kesempatan yang didapatkan seseorang di dalam masyarakat melalui
keanggotaannya dalam entitas sosial tertentu (paguyuban, kelompok arisan,
asosiasi tertentu).
·
Bank Dunia (1999) mendefinisikan modal sosial
sebagai sesuatu yang merujuk kepada dimensi institusional, hubungan-hubungan
yang tercipta, norma-norma yang membentuk kualitas dan kuantitas hubungan
sosial dalam masyarakat. Modal sosial pun tidak diartikan hanya sekedar sejumlah
institusi dan kelompok sosial yang menopang kehidupan sosial, melainkan juga sebagai
perekat (social glue) yang menjaga kesatuan anggota kelompok secara
bersama-sama.
·
Cox (2005) mendefinisikan, modal sosial
sebagai suatu rangkian proses hubungan antar manusia yang ditopang oleh
jaringan, norma-norma, dan kepercayaan sosial yang memungkinkan efisien dan
efektifnya koordinasi dan kerjasama untuk keuntungan dan kebajikan bersama.
·
Robby Djohan (2008) mendefinisikan Modal sosial adalah suatu
keadaan yang membuat masyarakat atau sekelompok orang bergerak untuk mencapai
tujuan bersama. Di dalam prosesnya, gerakan itu ditopang oleh nilai dan norma yang khas, yaitu trust, saling memberi
dan menerima, toleransi, penghargaan, partisipasi, kerja sama dan proaktif,
serta nilai-nilai positif yang dapat membawa kemajuan bersama.”
Woolcock dan
Narayan (2000) mensintesiskan berbagai pengertian modal sosial dalam literatur
sosiologi dan dari hasil sintesis tersebut mereka menyusun 4 kategori modal
sosial. Keempat kategori tersebut memang berbeda, tetapi tidak saling
bertentangan satu dengan yang lain (Christiaan Grootaert & Thierry van
Bastelaer (eds), 2002).
Pertama,
perspektif komunitarian. Dari perspektif ini, modal sosial
digambarkan dalam pengertian organisasi-organisasi dan kelompok-kelompok lokal.
Perspektif ini membantu para praktisi pembangunan untuk memusatkan perhatian
pada peran relasi sosial dalam mengurangi kemiskinan.
Kedua,
perspektif jejaring (network). Perspektif jejaring
mendefinisikan modal sosial dengan mengacu pada berbagai hubungan (relasi)
antara berbagai perkumpulan (asosiasi) vertikal dan horisontal. Dalam sudut
pandang ini, berbagai hubungan tersebut dibedakan menjadi hubungan
interkomunitas dan hubungan antarkomunitas.
Ketiga,
perspektif institusional. Dari sudut pandang ini
diketahui bahwa lingkungan institusional, legal dan politis (institutional, legal, and political
environment) merupakan penentu penting dan utama kuat-tidaknya jejaring
masyarakat.
Keempat, perspektif
sinergi. Perspektif ini memusatkan perhatian pada berbagai hubungan di
antara dan di dalam berbagai pemerintah dan masyarakat sipil. Pada dasarnya,
perspektif sinergi ini mendasarkan diri pada asumsi bahwa tak satu pun aktor
atau pelaku pembangunan (negara, swasta, dan masyarakat) mempunyai akses
sendiri terhadap sumber-sumber daya yang diperlukan untuk menciptakan
pertumbuhan yang adil dan berkelanjutan.
Konsep
dan interpretasi mengenai modal sosial memang sangat banyak dan beragam, tetapi
tampaknya muncul sebuah konsensus bersama bahwa pada dasarnya modal sosial
berarti kemampuan para pelaku (aktor) untuk mengamankan berbagai manfaat
(benefits) melalui nilai-nilai luhur keanggotaan dalam jejaring sosial atau
struktur-struktur sosial lain (Grootaert, 2001). Dalam konteks inilah Grootaert
menekankan peran penting berbagai perkumpulan atau asosiasi lokal. Bagi
Grootaert, berbagai perkumpulan atau asosiasi lokal tersebut memainkan peran
dalam tiga cara. Pertama, berbagi informasi di antara para anggota perkumpulan;
kedua, mengurangi berbagai perilaku oportunistik; dan ketiga, memfasilitasi
pengambilan keputusan kolektif (Grootaert, 2001).
Dari beberapa definisi di atas,
maka yang dimaksud dengan modal sosial adalah serangkaian nilai-nilai atau
norma-norma, seperti rasa saling percaya, saling pengertian, kesamaan nilai dan
perilaku, yang dimiliki bersama di antara para anggota suatu kelompok
masyarakat yang memungkinkan terjalinnya kerjasama di antara mereka dan
akhirnya mencapai tujuan bersama.
Hasbullah, (2006: 8),
menyatakan masing-masing tokoh yang
mempopulerkan konsep modal sosial memiliki perbedaan penekanan terhadap unsur-unsur
yang membentuknya. Perbedaan tersebut juga dalam hal pendekatan analisis.
Namun
intinya, konsep modal sosial memberikan penekanan pada kebersamaan masyarakat untuk mencapai
tujuan memperbaiki kualitas kehidupan dan senantiasa melakukan perubahan dan
penyesuaian secara terus menerus. Dalam proses perubahan dan upaya untuk
mencapai tujuan, masyarakat senantiasa terikat pada nilai-nilai dan norma yang
dipedomani sebagai acuan bersikap, bertindak dan bertingkah laku serta
berhubungan dengan pihak lain. Beberapa acuan nilai dan unsur yang merupakan
ruh modal sosial antara lain sikap yang partisipatif, sikap yang saling memperhatikan,
saling memberi dan menerima, saling percaya mempercayai, dan diperkuat oleh
nilai-nilai dan norma yang mendukungnya. Unsur lain yang memegang peran penting
adalah kemauan masyarakat atau kelompok tersebut untuk secara terus menerus pro
aktif, baik dalam mempertahankan nilai, membentuk jaringan-jaringan kerjasa,
maupun dengan penciptaan kreasi dan ide-ide baru. Inilah jati diri
modal sosial yang sebenarnya .
Unsur-unsur
Pokok Modal Sosial
Lubis (2006), menyimpulkan dari
beberapa sarjana yang mendefinisikan modal sosial, bahwa unsur-unsur pokok
modal sosial mencakup 3 hal, yaitu : (1) Kepercayaan/Trust (kejujuran,
kewajaran, sikap egliter, toleransi, dan kemurahan hati), (2) Jaringan sosial/Social
Networks (partisipasi, resprositas, solidaritas, kerjasama), dan (3)
Pranata/Institution. Sementara Putnam menyatakan modal sosial sebagai
institusi sosial yang melibatkan jaringan (networks), norma-norma (norms)
dan kepercayaan sosial (social trust) yang mendorong pada sebuah
kolaborasi sosial untuk kepentingan bersama.
Hasbullah (2006),
menyatakan inti telaah modal sosial terletak pada bagaimana kemampuan masyarakat
dalam suatu entitas atau kelompok untuk bekerja sama membangun suatu jaringan
untuk mencapai tujuan bersama. Kerjasama tersebut diwarnai oleh suatu pola
interrelasi yang imbal balik dan saling menguntungkan, dan dibangun di atas
kepercayaan yang ditopang oleh norma-norma dan nilai-nilai sosial yang positif
dan kuat. Kekuatan tersebut akan maksimal jika didukung oleh semangat proaktif
membuat jalinan hubungan di atas prinsip-prinsip yang disepakati.
Adapun unsur-unsur modal sosial, yaitu :
a. Jaringan
Sosial
Modal Sosial tidak dibangun hanya
oleh satu individu, melainkan terletak pada kecenderungan yang tumbuh dalam
suatu kelompok untuk bersosialisasi sebagai bagian penting dari nilai-nilai
yang melekat. Modal Sosial akan kuat tergantung pada kapasitas yang ada dalam
kelompok masyarakat untuk membangun sejumlah asosiasi berikut membangun
jaringannya. Salah satu kunci keberhasilan membangun modal sosial terletak pula
pada kemampuan sekelompok orang dalam suatu asosiasi atau perkumpulan dalam
melibatkan diri pada suatu jaringan sosial.
Masyarakat selalu berhubungan
dengan masyarakat lain melalui berbagai variasi hubungan yang saling
berdampingan dan dilakukan atas prinsip kesukarelaan (voluntary), kesamaan (equality),
kebebasan (freedom), dan keadaban (civility). Kemampuan anggota-anggota
kelompok atau masyarakat untuk selalu menyatukan diri dalam suatu pola hubungan
yang sinergis akan sangat besar pengaruhnya dalam menentukan kuat tidaknya
modal sosial suatu kelompok tersebut.
Jaringan sosial dapat
terbentuk secara tradisional, misalnya atas dasar kesamaan garis keturunan
(lineage), pengalaman-pengalaman sosial turun-temurun (repeated social
experience), dan kesamaan kepercayaan pada dimensi ketuhanan (religius
beliefs), ada pula yang dibangun berdasarkan orientasi dan tujuan dengan
pengelolaan organisasi yang lebih modern.
Badaruddin (2005), menyatakan dengan pelibatan
warga dalam jaringan sosial yang akan menjadi satuan sosial/organisasi lokal,
maka terciptalah apa yang disebut dengan kemampuan warga kolektif mengalihkan
kepentingan ‘saya’ menjadi ‘kita’ terbangunlah kekompakan dan solidaritas antar
warga. Jaringan sosial terdiri dari lima unsur yang meliputi: adanya
partisipasi, pertukaran timbal balik, solidaritas, kerjasama dan keadilan
(Lubis, 2001).
b. Resiprocity (Hubungan Timbal Balik)
Modal sosial senantiasa diwarnai
oleh kecenderungan saling tukar kebaikan antar individu dalam suatu kelompok
atau antar kelompok itu sendiri. Pola pertukaran ini bukanlah sesuatu yang
dilakukan secara resiprokal seketika seperti dalam proses jual beli, melainkan suatu
kombinasi jangka pendek dan jangka panjang dalam nuansa altruism (semangat
untuk membantu dan mementingkan kepentingan orang lain). Seseorang atau banyak
orang dari suatu kelompok memiliki semangat membantu yang lain tanpa mengharapkan
imbalan seketika. Dalam konsep Islam, semangat semacam ini disebut sebagai
keikhlasan. Semangat untuk membantu bagi keuntungan orang lain. Imbalannya
tidak diharapkan seketika dan tanpa batas waktu tertentu.
Pada masyarakat, dan
kelompok-kelompok sosial yang terbentuk, yang didalamnya memiliki bobot
resiprositas kuat akan melahirkan suatu masyarakat yang memiliki tingkat modal
sosial yang tinggi. Ini akan juga terefleksikan dengan tingkat keperdulian sosial
yang tinggi, saling membantu dan saling memperhatikan. Pada masyarakat yang
demikian, permasalahan sosial akan lebih memungkinkan mudah untuk diatasi atau dapat
diminimalkan. Keuntungan lain, masyarakat tersebut akan lebih mudah membangun
diri, kelompok dan lingkungan sosial serta fisik mereka secara mengangumkan.
c. Trust (Kepercayaan)
Trust atau rasa
percaya (mempercayai) adalah suatu bentuk keinginan untuk mengambil resiko
dalam hubungan-hubungan sosialnya yang didasari oleh perasaan yakin bahwa yang
lain akan melakukan sesuatu seperti yang diharapkan dan akan senantiasa bertindak
dalam suatu pola tindakan yang saling mendukung, paling tidak, yang lain tidak
akan bertindak merugikan diri dan kelompoknya (Putnam, 2002). Dalam pandangan
Fukuyama (2002), trust adalah sikap
saling mempercayai di masyarakat yang memungkinkan masyarakat tersebut saling
bersatu dengan yang lain dan memberikan kontribusi pada peningkatan modal
sosial.
Berbagai tindakan kolektif yang di
dasari atas rasa saling mempercayai yang tinggi akan meningkatkan partisipasi
masyarakat dalam berbagai ragam bentuk dan dimensi terutama dalam konteks membangun
kemajuan bersama. Kehancuran rasa saling percaya dalam masyarakat akan
mengundang hadirnya berbagai permasalahan sosial yang serius. Masyarakat yang
kurang memiliki perasaan saling mempercayai akan sulit menghindari berbagai
situasi kerawanan sosial dan ekonomi yang mengancam. Semangat kolektifitas
tenggelam dan partisipasi masyarakat untuk membangun bagi kepentingan kehidupan
yang lebih baik akan hilang. Lambat laun akan mendatangkan biaya tinggi bagi
pembangunan karena masyarakat cenderung bersikap apatis dan hanya menunggu apa
yang diberikan oleh pemerintah. Jika rasa saling mempercayai telah luntur maka
yang akan terjadi adalah sikap-sikap menyimpang dari nilai dan norma yang
berlaku.
Tentang pentingnya
kepercayaan di dalam modal sosial ini Fukuyama berpendapat : Social Capital adalah
kapabilitas yang muncul dari kepercayaan umum didalam sebuah masyarakat atau
bagian-bagian tertentu darinya. Ia bisa dilembagakan dalam kelompok sosial yang
paling kecil dan mendasar demikian juga kelompok-kelompok sosial masyarakat
yang paling besar sepert Negara dan dalam seluruh kelompok lain yang ada
diantaranya. Social Capital berbeda dengan bentuk-bentuk human
capital lain sejauh ia bisa diciptakan dan ditransmisikan melaui mekanisme
kultural seperti agama, tradisi, atau kebiasaan sejarah (Badaruddin, 2005;37).
Qianhong Fu yang membagi tingkatan trust pada tingkatan individual,
tingkatan relasi sosial dan pada tingkatan sistem sosial. Pada tingkatan relasi
sumber trust menurut Nahapit dan Ghosal berasal dari adanya nilai-nilai
yang bersumber dari kepercayaan agama yang dianut, kompetensi seseorang dan
keterbukaan yang telah menjadi norma di masyarakat. Pada tingkat institusi
sosial, trust merupakan atribut kolektif untuk mencapai tujuan-tujuan
kelompok (Hasbullah, 2006;12). Saling percaya akan kemauan baik dan kesedian
untuk saling membantu antara satu dengan yang lainnya merupakan modal sosial.
d. Norma Sosial dan Nilai-Nilai
Norma sosial akan
sangat berperan dalam mengontrol bentuk-bentuk perilaku yang tumbuh dalam
masyarakat. Pengertian norma itu sendiri adalah sekumpulan aturan yang
diharapkan dipatuhi dan diikuti oleh anggota masyarakat pada suatu entitas
sosial tertentu. Norma-norma ini biasanya terinstusionalisasi dan mengandung
sanksi sosial yang dapat mencegah
individu berbuat sesuatu yang menyimpang dari kebiasaan. Aturan kolektif
tersebut biasanya tidak tertulis tapi dipahami oleh setiap anggota masyarakat
dan menentukan pola tingkah laku yang diharapkan dalam hubungan sosial.
Aturan-aturan kolektif ini,
misalnya, bagaimana cara menghormati orang tua, menghormati pendapat orang
lain, norma untuk hidup sehat, norma tidak mencurigai orang lain, dan
sebagainya. Jika di dalam suatu komunitas, asosiasi, atau kelompok, norma
tersebut tumbuh, dipertahankan dan kuat akan memperkuat masyarakat itu sendiri.
Itulah alasan rasional mengapa norma merupakan salah satu unsur modal sosial.
Nilai adalah suatu yang telah turun
temurun dianggap benar dan penting oleh anggota masyarakat. Misalnya, nilai
harmonis, prestasi, kerja keras, kompetisi dan lainnya merupakan contoh-contoh
nilai yang sangat umum dikenal dalam masyarakat. Nilai senantiasa memiliki
kandungan konsekuensi yang ambivalen. Nilai harmonis misalnya yang oleh banyak
pihak dianggap sebagai pemicu keindahan dan kerukunan hubungan sosial yang
tercipta, tetapi disisi lain dipercaya pula bisa menimbulkan suatu kenyataan
yang menghalangi kompetisi dan produktifitas.
Pada kelompok masyarakat yang
mengutamakan nilai-nilai harmonis biasanya akan senantiasa ditandai oleh
suasana yang rukun, indah, namun dalam kaitannya dengan diskusi pemecahan
masalah, tidak produktif. Modal sosial
yang kuat juga sangat ditentukan oleh konfigurasi yang tercipta pada suatu
kelompok masyarakat. Jika suatu kelompok memberikan bobot tinggi pada
nilai-nilai kompetesi, pencapaian, keterusterangan dan kejujuran, maka kelompok
masyarakat tersebut cenderung jauh lebih cepat berkembang dan maju dibandingkan
pada kelompok masyarakat yang senantiasa menghindari keterusterangan, kompetisi
dan pencapaian.
Francis Fukuyama
(dalam Hasbullah, 2006;108) berargumentasi bahwa agama merupakan salah satu
sumber utama modal sosial. Perkumpulan-perkumpulan keagamaan sangat potensial
untuk menghadirkan dan membangun suatu bentuk dan ciri tertentu dari modal
sosial. Ajaran agama merupakan salah satu sumber nilai dan norma yang menuntut
prilaku masyarakat. Agama lah yang menjadi sumber utama inspirasi, energi
sosial serta yang memberikan ruang bagi terciptanya orientasi hidup
penganutnya. Tradisi yang telah berkembang secara turun temurun juga sebagai
sumber terciptanya norma-norma dan nilai, serta hubungan-hubungan rasional.
Tatanan yang terbangun merupakan produk kebiasaan yang turun temurun, dan
kemudian membentuk kualitas modal sosial.
e. Pranata Sosial
Pranata sosial
merupakan salah satu unsur penting dari modal sosial selain dari kepercayaan
dan jaringan sosial. Pranata atau lembaga adalah sistem-sistem yang menjadi
wahana yang memungkinkan warga masyarakat itu untuk berinteraksi menurut
pola-pola resmi (Soekanto, 2003). Di dalam pranata warga masyarakat dapat
berinteraksi satu sama lain, tetapi sudah diikat oleh aturan-aturan yang telah
disepakati bersama. Pranata sosial ini sangat bermacam ragam bentuknya, mulai
dari yang tradisional seperti masyarakat adat, sampai pada pranata yang modern
seperti partai politik, koperasi, perusahaan, perguruan tinggi dan lain-lain.
Menurut Koentjaraningrat (2005) ada 8 (delapan) tipe dari pranata sosial,
yaitu:
1. Pranata yang berfungsi untuk memenuhi keperluan kehidupan
kekerabatan yang sering disebut domestic institution.
2. Pranata-pranata yang berfungsi untuk memenuhi keperluan manusia
untuk mata pencaharian hidupnya.
3. Pranata yang berfungsi memenuhi keperluan pendidikan.
4. Pranata yang berfungsi memenuhi keperluan ilmiah manusia, atau
sering disebut scientific institution.
5. Pranata yang berfungsi memenuhi keperluan manusia untuk
menghayatkan rasa keindahan.
6. Pranata yang berfungsi memenuhi keperluan manusia untuk berbakti
kepada Tuhan.
7. Pranata yang berfungsi memenuhi keperluan manusia untuk mengatur
keseimbangan kekuasaan dalam masyarakat.
8. Pranata yang berfungsi memenuhi keperluan fisik dan kenyamanan
hidup manusia.
Summer (Soekanto,
2003) mengartikan pranata ini sebagai perbuatan, cita-cita, sikap dan
perlengkapan kebudayaan bersifat kekal serta bertujuan untuk memenuhi
kebutuhan-kebutuhan masyarakat. Sosiolog tersebut menyebutkan bahwa ada 3
(tiga) fungsi pranata ini, yaitu:
1. Memberikan pedoman pada anggota masyarakat bagaimana mereka harus
bertingkah laku atau bersikap di dalam menghadapi masalah-masalah dalam
masyarakat terutama menyangkut kebutuhan-kebutuhan.
2. Menjaga keutuhan masyarakat.
3. Memberikan pegangan
kepada masyarakat untuk mengadakan sistem pengendalian sosial.
Suatu pranata supaya
dapat tercipta kerjasama, maka harus ada norma-norma yang mengatur. Norma-norma
yang ada pada sebuah pranata dapat terbentuk secara sengaja maupun secara tidak
sengaja. Norma-norma yang ada di dalam masyarakat mempunyai kekuatan mengikat
yang berbeda-beda, ada yang lemah dan ada pula yang kuat ikatannya (Soekanto,
2003).
Norma-norma tersebut
di atas akan mengalami suatu proses seiring dengan perjalanan waktu dan pada
akhirnya norma-norma itu akan menjadi bagian tertentu dan pranata sosial.
Soekanto (2003) mengatakan proses itu disebut dengan istilah institutionalization
atau proses pelembagaan, yaitu suatu proses yang dilewati oleh suatu norma
yang baru untuk menjadi bagian dari salah satu pranata sosial. Pranata sosial
dianggap sebagai peraturan apabila norma-norma tersebut membatasi serta
mengatur perilaku orang-orang di dalam lingkungan pranata itu berada (Soekanto,
2003). Proses pelembagaan sebenarnya tidak berhenti demikian saja, akan tetapi
dapat berlanjut lebih jauh lagi hingga suatu norma kemasyarakatan tidak hanya
melembaga saja dalam kehidupan masyarakat, namun telah menginternalisasi di
dalam kehidupannya. Norma hukum pada dasarnya bertujuan untuk mencapai
kedamaian hidup bersama, yang merupakan keserasian antara ketertiban dan
ketentraman.
Hubungan antara
manusia di dalam suatu masyarakat terlaksana sebagaimana diharapkan, maka
diciptakanlah norma-norma yang mempunyai kekuatan mengikat yang berbeda-beda.
Untuk dapat membedakan kekuatan mengikat norma-norma tersebut dikenal ada empat
pengertiannya, yaitu: Cara, kebiasaan, tata kelakuan dan adat (Soekanto, 2003).
Masing-masing pengertian tersebut mempunyai dasar yang lama, yakni merupakan
norma-norma kemasyarakatan yang memberikan petunjuk bagi tingkah laku seseorang
di dalam kehidupannya dengan masyarakat.
Dalam masyarakat
Batak, onan merupakan pranata yang sudah mapan. Selain sebagai fungsi
perdagangan (tempat transaksi jual beli), juga berfungsi sebagai wadah
pergaulan sosial di antara anggota kelompok suku dan di antara wilayah yang
saling bermusuhan dan bahkan yang secara formal berperang, ditegakkan dan
dipertahankan melalui “kedamaian pasar (onan)”.
Pentingnya
Modal Sosial
Semua
kelompok masyarakat pada hakekatnya mempunyai potensi-potensi sosial budaya
yang kondusif dan dapat menunjang pembangunan (Berutu, 2002). Potensi ini
terkadang terlupakan begitu saja oleh kelompok masyarakat sehingga tidak dapat
difungsikan untuk tujuan-tujuan tertentu. Tetapi banyak juga kelompok
masyarakat yang menyadari akan potensi-potensi sosial budaya yang dimilikinya,
sehingga potensi-potensi tersebut dapat dimanfaatkan secara arif bagi keperluan
kelompok masyarakat itu sendiri. Salah satu potensi sosial budaya tersebut
adalah modal sosial. Secara sederhana modal sosial merupakan kemampuan masyarakat
untuk mengorganisir diri sendiri dalam memperjuangkan tujuan mereka.
Modal
sosial bisa dikatakan sebagai sumber daya sosial yang dimiliki oleh masyarakat.
Sebagai sumber daya, modal sosial ini memberi kekuatan atau daya dalam beberapa
kondisi-kondisi sosial dalam masyarakat. Sebenarnya dalam suatu komunitas telah
dikenal beberapa jenis modal, yaitu natural capital (sumber daya alam),
human capital (sumber daya manusia), dan financial/economic capital
(sumber daya ekonomi)l. Modal sosial (social
capital) akan dapat mendorong modal-modal di atas untuk digunakan lebih
optimal lagi.
Ibrahim,
(2006) menyatakan hakikat dari modal sosial adalah hubungan sosial yang
terjalin dalam kehidupan sehari-hari warga masyarakat. Hubungan sosial
mencerminkan hasil interaksi sosial dalam waktu yang relatif lama sehingga
menghasilkan jaringan pola kerjasama, pertukaran sosial, saling percaya,
termasuk nilai dan norma yang mendasari hubungan sosial tersebut. Sebagai mahluk sosial tidak ada individu yang
hidup sendiri tanpa berinteraksi dengan orang lain. Oleh sebab itu tidak ada
satu masyarakat atau komunitas yang
tidak memiliki modal sosial. Pola hubungan sosial inilah yang mendasari
kegiatan bersama atau kegiatan kolektif antar warga masyarakat. Dengan
demikian, masyarakat tersebut mampu mengatasi masalah mereka bersama-sama
(partisipasi aktif).
Menurut
Lesser (2000), modal sosial ini sangat penting bagi komunitas karena beberapa
hal berikut :
1. memberikan
kemudahan dalam mengakses informasi bagi anggota komunitas;
2. menjadi
media power sharing atau pembagian
kekuasaan dalam komunitas;
3. mengembangkan
solidaritas;
4. memungkinkan
mobilisasi sumber daya komunitas;
5. memungkinkan
pencapaian bersama; dan
6. membentuk
perilaku kebersamaam dan berorganisasi komunitas.
Modal
sosial merupakan suatu komitmen dari setiap individu untuk saling terbuka,
saling percaya, memberikan kewenangan bagi setiap orang yang dipilihnya untuk
berperan sesuai dengan tanggungjawabnya. Sarana ini menghasilkan rasa
kebersamaan, kesetiakawanan, dan sekaligus tanggungjawab akan kemajuan bersama.
Manusia
belum disebut manusia yang sebenarnya, bila ia tidak ada dalam suatu
masyarakat, karena itu pula maka manusia disebut sebagai makhluk sosial.
Manusia pada dasarnya tidak dapat memenuhi seluruh kebutuhannya dengan baik
tanpa hidup bermasyarakat. Sejak lahir, manusia membutuhkan pertolongan manusia
lain, sampai dewasa dan meninggal (dan dikubur), ia pun tetap membutuhkan
manusia lain. Kemandirian manusia tidak diartikan sebagai hidup sendiri secara
tunggal, tapi hidup harmonis dan adaptif dalam tatanan kehidupan bersama.
Seperti yang dikemukakan oleh Fairchild (1980) masyarakat merujuk pada kelompok
manusia yang memadukan diri, berlandaskan pada kepentingan bersama, ketahanan
dan kekekalan/kesinambungan.
Kebersamaan,
solidaritas, toleransi, semangat bekerjasama, kemampuan berempati, merupakan
modal sosial yang melekat dalam kehidupan bermasyarakat. Hilangnya modal sosial
tersebut dapat dipastikan kesatuan masyarakat, bangsa dan negara akan terancam,
atau paling tidak masalah-masalah kolektif akan sulit untuk diselesaikan.
Kebersamaan dapat meringankan beban, berbagi pemikiran, sehingga dapat
dipastikan semakin kuat modal sosial, semakin tinggi daya tahan, daya juang,
dan kualitas kehidupan suatu masyarakat. Tanpa adanya modal sosial, masyarakat
sangat mudah diintervensi bahkan dihancurkan oleh pihak luar.
Sementara
menurut Putnam (dalam Ikhsan, 2007) menyatakan bahwa dampak positif dari
penerapan dan pengembangan modal sosial, adalah :
a. menumbuhkan
semangat charity (amal)
b. memicu volunteerism (kesukarelawanan)
c. membangun
civil involvement (keterlibatan warga).
Isu pentingnya modal sosial ini juga telah merasuk dalam Konferensi
Tingkat Tinggi (KTT) Pembangunan Sosial di Kopenhagen 12 Maret 1995. Konferensi
ini mengingatkan, modal sosial telah luput dari timbangan penyelenggaraan
pemerintahan yang terlalu lama menjadikan pembangunan sebagai “ideologi”. Konferensi
ini mengedepankan kata kunci “modal sosial” dalam tiga agenda pokoknya:
mengurangi kemiskinan, menciptakan angkatan kerja produktif, dan meningkatkan
integrasi sosial. Sebab dibalik kemakmuran yang dijanjikan oleh
“modernisme”, masih bergelimang berbagai masalah ekonomi, kemiskinan dan
penggangguran yang pada suatu saat mengakibatkan munculnya disintegrasi sosial.
Demikian juga dengan Bank Dunia, akhir-akhir ini santer
meneriakkan isu “modal sosial”. Para ahli sosial-ekonomi di Bank
Dunia yang telah melakukan berbagai penelitian mengenai praktik-praktik
pembangunan dan penanggulangan kemiskinan, umumnya memberi penilaian positif
terhadap penerapan konsep modal sosial sebagai sebuah pendekatan pembangunan
yang berpengaruh pada peningkatan produktivitas ekonomi sebuah komunitas.
Inkeles
(2001) mencoba mengukur modal sosial dalam skala yang lebih besar, yaitu dalam
populasi nasional atau negara. Bukti-bukti yang ia temukan dari sebanyak 40
negara sebagai sampelnya menunjukkan bahwa negara dengan tingkat individualisme
yang tinggi, pendapatannya yang rendah dan kebebasan yang tertekan, sedangkan
negara-negara dengan nilai-nilai sosial yang positif memiliki pertumbuhan
ekonomi yang cukup tinggi dan pemerintahan demokratis yang stabil. Nilai-nilai
sosial yang positif dalam sebuah negara yang ia maksudkan dapat dilihat dari
besarnya tingkat kepercayaan dalam masyarakat dan organisasi-organisasi sosial
yang eksis. Dari apa yang dikemukakan Inkeles (2001) terlihat bahwa negara dengan tingkat modal sosial
yang tinggi mampu mendorong ke arah tingginya tingkat pertumbuhan ekonominya
dan kestabilan demokrasinya. Modal sosial tersebut banyak ditemukan dalam
komunitas yang antar masyarakatnya terjalin komunikasi dan interaksi, baik
melalui organisasi maupun asosiasi-asosiasi. Sedangkan di dalam masyarakat
individualistis, dengan interaksi sosial yang jarang, modal sosial tidak
optimal, kecuali melalui institusi-institusi formal yang memang secara resmi
sudah diikat oleh aturan-atuaran baku.
Tanda
bahwa modal sosial ini menarik adalah bukti empiris yang menunjukkan modal
sosial ini memiliki kontribusi terhadap pembangunan ekonomi. Torsvik
(Simarmata, 2009) mengatakan, siapapun yang menulis tentang modal sosial pasti
setuju bahwa modal sosial harus dibedakan dari pengukuran ekonomi yang standar,
seperti modal fisik dan modal manusia. Modal sosial sebagai missing link dalam
pembangunan ekonomi, karena antara modal sosial dan produktivitas, terdapat
jaringan. Modal sosial memberikan sebuah potensi besar bagi produktivitas,
karena modal sosial memiliki kegunaan efisiensi dalam setiap tindakan, yang
terjalin oleh adanya kepercayaan, niat baik dan kerjasama dalam masyarakat.
Kepercayaan merupakan sebuah variable ekonomi yang penting. Alasannya adalah
kepercayaan memainkan peranan penting dalam produksi, karena hal itu dapat
mengurangi biaya transaksi dalam aktivitas ekonomi.
Disampaikan
dalam Sosialisasi dan Pembekalan Teknis WKSBM Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Bontang, tanggal 14-15 juni 2012
Referensi :
Ancok,
Djamaludin, Konsep Modal Manusia, http://ancok.staff.ugm.ac.id/h-18/konsep-modal-manusia.html
Hasbullah, Jousairi. 2006. Social Capital
(Menuju Keunggulan Budaya Manusia Indonesia). MR-United Press. Jakarta
terimakasih kang, ulasan social capitalnya sangat jelas.
BalasHapustop markotop
BalasHapusTulisan ini sebagian besar sama dg tulisan Witrianto, S.S., M.Hum., M.Si.
BalasHapusSiapa yg melakukan plagiat ? Witrianto atau Hotibin ?
Bisa dilihat tulisan witrianto di http://witrianto.blogdetik.com/2010/12/08/modal-sosial-dan-pembangunan-manusia-indonesia/
mohon seleksi akedemis, salam
BalasHapusYuk Merapat Best Betting Online Hanya Di AREATOTO
BalasHapusDalam 1 Userid Dapat Bermain Semua Permainan
Yang Ada :
TARUHAN BOLA - LIVE CASINO - SABUNG AYAM - TOGEL ONLINE ( Tanpa Batas Invest )
Sekedar Nonton Bola ,
Jika Tidak Pasang Taruhan , Mana Seru , Pasangkan Taruhan Anda Di areatoto
Minimal Deposit Rp 20.000 Dan Withdraw Rp.50.000
Proses Deposit Dan Withdraw ( EXPRES ) Super Cepat
Anda Akan Di Layani Dengan Customer Service Yang Ramah
Website Online 24Jam/Setiap Hariny