Rabu, 16 Oktober 2013

MENGUATKAN MODAL SOSIAL MASYARAKAT


(Merefleksi Pentingnya WKSBM)

Hotibin, S.Sos. SH., MPSSp.


ABSTRAK
Dalam konteks penyelenggaraan kesejahteraan sosial, modal sosial memiliki pengaruh yang sangat menentukan. Dalam suatu komunitas yang memiliki modal sosial rendah, kualitas penyelenggaraan kesejahteraan sosial akan tertinggal. Beberapa dimensi pembangunan yang sangat dipengaruhi oleh modal sosial antara lain kemampuannya menyelesaikan berbagai masalah kolektif, mendorong roda perubahan yang cepat di tengah masyarakat, memperluas kesadaran bersama bahwa banyak jalan yang bisa dilakukan oleh setiap anggota kelompok untuk memperbaiki nasib secara bersama-sama, memperbaiki mutu kehidupan seperti meningkatkan kesejahteraan, dan banyak keuntungan lainnya yang dapat diperoleh. Bangsa yang memiliki Modal Sosial tinggi akan cenderung lebih efisien dan efektif menjalankan berbagai kebijakan untuk mensejahterakan rakyatnya.
Suatu kelompok masyarakat yang memiliki modal sosial tinggi akan membuka kemungkinan menyelesaikan kompleksitas permasalahan kesejahteraan sosial dengan lebih mudah. Hal ini memungkinkan terjadi terutama pada masyarakat yang terbiasa hidup dengan rasa saling mempercayai yang tinggi, bersatu dan memiliki hubungan sosial (jejaring sosial) secara intensif dan dengan didukung oleh semangat kebaikan untuk hidup saling menguntungkan dan saling memberi.

Latar Belakang
Pencapaian pembangunan Indonesia masih dari memuaskan. Pemerintahan silih berganti, tetapi Indonesia seperti jalan di tempat. Pengangguran terus bertambah. Kemiskinan semakin sulit dikendalikan. Kriminalitas terus meningkat, konflik sosial terjadi  di mana-mana. Investasi swasta semakin sulit berkembang. Perusahaan-perusahaan industri dalam negeri semakin sulit bersaing. Bangsa Indonesia jika tidak diwaspadai dari sekarang, tidak saja akan menjadi serambi belakang bangsa Asia, tetapi lebih jauh menjadi pusat tontonan tentang sebuah bangsa yang terus menerus perlu dikasihani.
Desa-desa di Indonesia sebetulnya tidak miskin. Rakyatnya hidup di tanah yang subur. Sungai mengalir lebar dan ikan-ikan, beberapa waktu yang lalu, pernah melimpah ruah. Rakyat tidak mengalami kekurangan. Saat ini, yang hilang di desa sebenarnya bukanlah ikan-ikan di sungai, bukan hutan sebagai sumber kehidupan, bukan hama babi dan tikus yang mengganggu padi, bukan karena pemerintah mengalirkan subsidi pengganti Bahan Bakar Minyak (BBM) dalam jumlah yang kurang besar. Yang hilang adalah sebuah energi. Yang tidak tampak adalah energi kolektif masyarakat untuk mengatasi problem bersama.
Mereka menjerit minta agar gedung sekolah diperbaiki, tetapi tidak ada upaya bersama begaimana memelihara gedung itu dan membetulkan plafon yang ambruk sebelum datang bantuan dari pemerintah. Mereka menghendaki jalan desa mulus dan tidak lagi berlumpur, tetapi tidak gerakan untuk bergotong royong mengatasi jalan yang rusak. Mereka menjerit tentang tikus dan babi, tetapi langkah bersama untuk mengatasinya juga tidak terlihat. Mereka mengeluh miskin, tetapi di desa yang miskin tersebut, tanah-tanah pekarangan yang masih luas dibiarkan kosong. Untuk mengkonsumsi sayuran pun mereka enggan menanam, tetapi harus membeli dari pasar.
Kebersamaan masyarakat desa saat ini hanya terbatas untuk urusan-urusan perayaan kematian, perkawinan, dan tahlilan. Kehidupan memberi warna dikotomistik. Di satu sisi, untuk acara-acara ritual terlihat ada kebersamaan. Di sisi lain, untuk meningkatkan mutu kehidupan bersama, mereka menunjukkan sikap hidup kemasing-masingan. Tidak terlihat kepedulian dan kebersamaan untuk mengatasi berbagai masalah ekonomi, sosial dan lingkungan fisik yang muncul dan membelenggu kehidupan mereka. Kondisi ini mencerminkan bahwa masyarakat sedang tertimpa penyakit yang sangat kronis, yaitu hilangnya kebersamaan dan energi kelompok karena hilangnya Modal sosial (Social Capital) tersebut.
Di negeri yang besar dan dengan kompleksitasnya persoalan, dimensi modal sosial hampir diabaikan, jauh berada di luar alam pikir pembangunan. Padahal di berbagai belahan dunia dewasa ini, kesadaran akan pentingnya faktor tersebut cukup tinggi, dan sedang menjadi kepedulian bersama. Modal sosial diyakini sebagai salah satu komponen utama dalam menggerakkan kebersamaan, mobilitas ide, kesalingpercayaan, dan kesalingmenguntungkan untuk mencapai kesejahteraan dan kemajuan bersama.
Fukuyama (1999) dengan meyakinkan berargumentasi bahwa Modal Sosial memegang peranan yang sangat penting dalam memfungsikan dan memperkuat kehidupan masyarakat modern. Modal sosial sebagai persyaratan bagi pembangunan manusia, pembangunan ekonomi, sosial, politik, dan stabilitas demokrasi. Di dalamnya merupakan komponen kultural bagi kehidupan masyarakat modern. Korupsi dan penyimpangan yang terjadi di berbagai belahan bumi dan terutama di negara-negara berkembang Asia, Afrika, dan Amerika Latin, salah satu determinan utamanya adalah rendahnya modal sosial yang tumbuh di tengah masyarakat. Modal sosial yang lemah akan meredupkan semangat gotong royong, memperparah kemiskinan, meningkatkan pengangguran, kriminalitas dan menghalangi setiap upaya untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk.
Istilah modal sosial (social capital) sudah lama muncul dalam literatur. Istilah ini pertama kali muncul di tahun 1916 di saat ada diskusi tentang upaya membangun pusat pembelajaran masyarakat (Cohen & Prusak, 2001). Konsep modal sosial diangkat kepermukaan sebagai wacana ilmiah oleh James S. Coleman (1990). Pembahasan tentang konsep modal sosial akhir-akhir ini semakin hangat setelah munculnya tulisan Putnam (1993) yang menggambarkan kualitas kehidupan masyarakat Amerika yang makin menurun dalam hal kelekatan antar sesama warga (Putnam, 1993).
Diskusi terhadap konsep ini semakin lengkap setelah terbit dua buku yang ditulis oleh Francis Fukuyama (1995, 2000). Yang pertama adalah Trust: The Social Virtues and the Creation of Prosperity yang terbit tahun 1995. Kemudian diikuti oleh buku yang kedua yang lebih mutakhir dengan judul “The Great Depression: Human Nature and the Reconstitution of Social Order” yang diterbitkan di tahun 2000. Di samping tulisan Fukuyama, buku tulisan Robert Putnam yang berjudul “Bowling Alone: The Collapse and Revival of American Community” yang terbit tahun 2000 juga menjadi pemicu pembahasan terhadap konsep modal sosial. Selain itu muncul berbagai artikel jurnal yang membahas topik tersebut dengan mengajukan berbagai pendapat tentang apa yang dimaksud dengan modal sosial.
Munculnya berbagai tulisan tentang modal sosial adalah suatu respon terhadap semakin merenggangnya hubungan antar manusia, dan semakin melemahnya ketidakpedulian terhadap sesama manusia. Fukuyama (1995) sangat kuatir tentang masa depan komunitas manusia yang diutarakannya seperti berikut: “We no longer have realistic hopes that we can create a “great society” through large government program”. Kehadiran masyarakat yang menekankan pada kehidupan yang menekankan pada ekonomi yang terlalu tertuju pada pertumbuhan seperti yang diutarakan oleh Wachtel (1989) telah menghantarkan manusia pada kehancuran. Di mata Fukuyama (2000) transisi masyarakat dari masyarakat industri menuju masyarakat informasi semakin memperenggang ikatan sosial dan melahirkan banyaknya patologi sosial seperti meningkatnya angka kejahatan, anak-anak lahir di luar nikah dan menurunnya kepercayaan pada sesama komponen masyarakat.
Dalam upaya membangun sebuah bangsa yang kompetitif peranan modal sosial semakin penting. Banyak kontribusi modal sosial untuk kesuksesan suatu masyarakat. Dalam era informasi yang ditandai semakin berkurangnya kontak berhadapan muka (face to face relationship), modal sosial sebagai bagian dari modal maya (virtual capital) akan semakin menonjol peranannya (lihat Ancok, 1998)

Konsep Modal Sosial
Modal sosial adalah sumberdaya yang dapat dipandang sebagai investasi untuk mendapatkan sumberdaya baru. Seperti diketahui bahwa sesuatu yang disebut sumberdaya (resources) adalah sesuatu yang dapat dipergunakan untuk dikonsumsi, disimpan, dan diinvestasikan. Sumberdaya yang digunakan untuk investasi disebut sebagai modal. Dimensi modal sosial cukup luas dan kompleks. Modal sosial berbeda dengan istilah populer lainnya, yaitu Modal Manusia (human capital). Pada modal manusia segala sesuatunya lebih merujuk ke dimensi individual yaitu daya dan keahlian yang dimiliki oleh seorang individu. Pada Modal sosial lebih menekankan pada potensi kelompok dan pola-pola hubungan antarindividu dalam suatu kelompok dan antarkelompok dengan ruang perhatian pada jaringan sosial, norma, nilai, dan kepercayaan antarsesama yang lahir dari anggota kelompok dan menjadi norma kelompok.
Apa itu modal social atau social capital ?. Para ahli banyak memberikan definisi tentang modal sosial diantaranya, yaitu :
·   Menurut James Colemen (1990) modal sosial merupakan inheren dalam struktur relasi antarindividu. Struktur relasi membentuk jaringan sosial yang menciptakan berbagai ragam kualitas sosial berupa saling percaya, terbuka, kesatuan norma, dan menetapkan berbagai jenis sanksi bagi anggotanya.

·           Francis Fukuyama (2003) menekankan pada dimensi yang lebih luas yaitu segala sesuatu yang membuat masyarakat bersekutu untuk mencapai tujuan bersama atas dasar kebersamaan, dan di dalamnya diikat oleh nilai-nilai dan norma-norma yang tumbuh dan dipatuhi. Situasi tersebutlah yang akan menjadi resep kunci bagi keberhasilan pembangunan di segala bidang kehidupan, dan terutama bagi kestabilan pembangunan ekonomi dan demokrasi. Pada masyarakat yang secara tradisional telah terbiasa dengan bergotong royong serta bekerjasama dalam kelompok atau organisasi yang besar cenderung akan meraskan kemajuan dan akan mampu, secara efisien dan efektif, memberikan kontribusi penting bagi kemajuan dan kesejahteraan bangsa dan masyarakat.
 
·           Putnam (1995) mengartikan modal sosial sebagai “features of social organization such as networks, norms, and social trust that facilitate coordination and cooperation for mutual benefit”. Modal sosial menjadi perekat bagi setiap individu, dalam bentuk norma, kepercayaan dan jaringan kerja, sehingga terjadi kerjasama yang saling menguntungkan untuk mencapai tujuan bersama. Modal sosial juga dipahami sebagai pengetahuan dan pemahaman yang dimiliki bersama oleh komunitas, serta pola hubungan yang memungkinkan sekelompok individu melakukan satu kegiatan yang produktif.
·           Pierre Bourdieu, menegaskan tentang modal sosial mengacu pada keuntungan dan kesempatan yang didapatkan seseorang di dalam masyarakat melalui keanggotaannya dalam entitas sosial tertentu (paguyuban, kelompok arisan, asosiasi tertentu).

·           Bank Dunia (1999) mendefinisikan modal sosial sebagai sesuatu yang merujuk kepada dimensi institusional, hubungan-hubungan yang tercipta, norma-norma yang membentuk kualitas dan kuantitas hubungan sosial dalam masyarakat. Modal sosial pun tidak diartikan hanya sekedar sejumlah institusi dan kelompok sosial yang menopang kehidupan sosial, melainkan juga sebagai perekat (social glue) yang menjaga kesatuan anggota kelompok secara bersama-sama.

·           Cox (2005) mendefinisikan, modal sosial sebagai suatu rangkian proses hubungan antar manusia yang ditopang oleh jaringan, norma-norma, dan kepercayaan sosial yang memungkinkan efisien dan efektifnya koordinasi dan kerjasama untuk keuntungan dan kebajikan bersama.
·           Robby Djohan (2008) mendefinisikan Modal sosial adalah suatu keadaan yang membuat masyarakat atau sekelompok orang bergerak untuk mencapai tujuan bersama. Di dalam prosesnya, gerakan itu ditopang oleh nilai dan norma yang khas, yaitu trust, saling memberi dan menerima, toleransi, penghargaan, partisipasi, kerja sama dan proaktif, serta nilai-nilai positif yang dapat membawa kemajuan bersama.”
Woolcock dan Narayan (2000) mensintesiskan berbagai pengertian modal sosial dalam literatur sosiologi dan dari hasil sintesis tersebut mereka menyusun 4 kategori modal sosial. Keempat kategori tersebut memang berbeda, tetapi tidak saling bertentangan satu dengan yang lain (Christiaan Grootaert & Thierry van Bastelaer (eds), 2002).

Pertama, perspektif komunitarian. Dari perspektif ini, modal sosial digambarkan dalam pengertian organisasi-organisasi dan kelompok-kelompok lokal. Perspektif ini membantu para praktisi pembangunan untuk memusatkan perhatian pada peran relasi sosial dalam mengurangi kemiskinan.

Kedua, perspektif jejaring (network). Perspektif jejaring mendefinisikan modal sosial dengan mengacu pada berbagai hubungan (relasi) antara berbagai perkumpulan (asosiasi) vertikal dan horisontal. Dalam sudut pandang ini, berbagai hubungan tersebut dibedakan menjadi hubungan interkomunitas dan hubungan antarkomunitas.

Ketiga, perspektif institusional. Dari sudut pandang ini diketahui bahwa lingkungan institusional, legal dan politis (institutional, legal, and political environment) merupakan penentu penting dan utama kuat-tidaknya jejaring masyarakat.

Keempat, perspektif sinergi. Perspektif ini memusatkan perhatian pada berbagai hubungan di antara dan di dalam berbagai pemerintah dan masyarakat sipil. Pada dasarnya, perspektif sinergi ini mendasarkan diri pada asumsi bahwa tak satu pun aktor atau pelaku pembangunan (negara, swasta, dan masyarakat) mempunyai akses sendiri terhadap sumber-sumber daya yang diperlukan untuk menciptakan pertumbuhan yang adil dan berkelanjutan.
Konsep dan interpretasi mengenai modal sosial memang sangat banyak dan beragam, tetapi tampaknya muncul sebuah konsensus bersama bahwa pada dasarnya modal sosial berarti kemampuan para pelaku (aktor) untuk mengamankan berbagai manfaat (benefits) melalui nilai-nilai luhur keanggotaan dalam jejaring sosial atau struktur-struktur sosial lain (Grootaert, 2001). Dalam konteks inilah Grootaert menekankan peran penting berbagai perkumpulan atau asosiasi lokal. Bagi Grootaert, berbagai perkumpulan atau asosiasi lokal tersebut memainkan peran dalam tiga cara. Pertama, berbagi informasi di antara para anggota perkumpulan; kedua, mengurangi berbagai perilaku oportunistik; dan ketiga, memfasilitasi pengambilan keputusan kolektif (Grootaert, 2001).
Dari beberapa definisi di atas, maka yang dimaksud dengan modal sosial adalah serangkaian nilai-nilai atau norma-norma, seperti rasa saling percaya, saling pengertian, kesamaan nilai dan perilaku, yang dimiliki bersama di antara para anggota suatu kelompok masyarakat yang memungkinkan terjalinnya kerjasama di antara mereka dan akhirnya mencapai tujuan bersama.
Hasbullah, (2006: 8), menyatakan masing-masing tokoh yang mempopulerkan konsep modal sosial memiliki perbedaan penekanan terhadap unsur-unsur yang membentuknya. Perbedaan tersebut juga dalam hal pendekatan analisis. Namun intinya,  konsep modal sosial memberikan penekanan pada kebersamaan masyarakat untuk mencapai tujuan memperbaiki kualitas kehidupan dan senantiasa melakukan perubahan dan penyesuaian secara terus menerus. Dalam proses perubahan dan upaya untuk mencapai tujuan, masyarakat senantiasa terikat pada nilai-nilai dan norma yang dipedomani sebagai acuan bersikap, bertindak dan bertingkah laku serta berhubungan dengan pihak lain. Beberapa acuan nilai dan unsur yang merupakan ruh modal sosial antara lain sikap yang partisipatif, sikap yang saling memperhatikan, saling memberi dan menerima, saling percaya mempercayai, dan diperkuat oleh nilai-nilai dan norma yang mendukungnya. Unsur lain yang memegang peran penting adalah kemauan masyarakat atau kelompok tersebut untuk secara terus menerus pro aktif, baik dalam mempertahankan nilai, membentuk jaringan-jaringan kerjasa, maupun dengan penciptaan kreasi dan ide-ide baru. Inilah jati diri modal sosial yang sebenarnya . 

Unsur-unsur Pokok Modal Sosial
Lubis (2006), menyimpulkan dari beberapa sarjana yang mendefinisikan modal sosial, bahwa unsur-unsur pokok modal sosial mencakup 3 hal, yaitu : (1) Kepercayaan/Trust (kejujuran, kewajaran, sikap egliter, toleransi, dan kemurahan hati), (2) Jaringan sosial/Social Networks (partisipasi, resprositas, solidaritas, kerjasama), dan (3) Pranata/Institution. Sementara Putnam menyatakan modal sosial sebagai institusi sosial yang melibatkan jaringan (networks), norma-norma (norms) dan kepercayaan sosial (social trust) yang mendorong pada sebuah kolaborasi sosial untuk kepentingan bersama.
Hasbullah (2006), menyatakan inti telaah modal sosial terletak pada bagaimana kemampuan masyarakat dalam suatu entitas atau kelompok untuk bekerja sama membangun suatu jaringan untuk mencapai tujuan bersama. Kerjasama tersebut diwarnai oleh suatu pola interrelasi yang imbal balik dan saling menguntungkan, dan dibangun di atas kepercayaan yang ditopang oleh norma-norma dan nilai-nilai sosial yang positif dan kuat. Kekuatan tersebut akan maksimal jika didukung oleh semangat proaktif membuat jalinan hubungan di atas prinsip-prinsip yang disepakati.
Adapun unsur-unsur modal sosial, yaitu :

a. Jaringan Sosial
Modal Sosial tidak dibangun hanya oleh satu individu, melainkan terletak pada kecenderungan yang tumbuh dalam suatu kelompok untuk bersosialisasi sebagai bagian penting dari nilai-nilai yang melekat. Modal Sosial akan kuat tergantung pada kapasitas yang ada dalam kelompok masyarakat untuk membangun sejumlah asosiasi berikut membangun jaringannya. Salah satu kunci keberhasilan membangun modal sosial terletak pula pada kemampuan sekelompok orang dalam suatu asosiasi atau perkumpulan dalam melibatkan diri pada suatu jaringan sosial.
Masyarakat selalu berhubungan dengan masyarakat lain melalui berbagai variasi hubungan yang saling berdampingan dan dilakukan atas prinsip kesukarelaan (voluntary), kesamaan (equality), kebebasan (freedom), dan keadaban (civility). Kemampuan anggota-anggota kelompok atau masyarakat untuk selalu menyatukan diri dalam suatu pola hubungan yang sinergis akan sangat besar pengaruhnya dalam menentukan kuat tidaknya modal sosial suatu kelompok tersebut.
Jaringan sosial dapat terbentuk secara tradisional, misalnya atas dasar kesamaan garis keturunan (lineage), pengalaman-pengalaman sosial turun-temurun (repeated social experience), dan kesamaan kepercayaan pada dimensi ketuhanan (religius beliefs), ada pula yang dibangun berdasarkan orientasi dan tujuan dengan pengelolaan organisasi yang lebih modern.
 Badaruddin (2005), menyatakan dengan pelibatan warga dalam jaringan sosial yang akan menjadi satuan sosial/organisasi lokal, maka terciptalah apa yang disebut dengan kemampuan warga kolektif mengalihkan kepentingan ‘saya’ menjadi ‘kita’ terbangunlah kekompakan dan solidaritas antar warga. Jaringan sosial terdiri dari lima unsur yang meliputi: adanya partisipasi, pertukaran timbal balik, solidaritas, kerjasama dan keadilan (Lubis, 2001).

b. Resiprocity (Hubungan Timbal Balik)
Modal sosial senantiasa diwarnai oleh kecenderungan saling tukar kebaikan antar individu dalam suatu kelompok atau antar kelompok itu sendiri. Pola pertukaran ini bukanlah sesuatu yang dilakukan secara resiprokal seketika seperti dalam proses jual beli, melainkan suatu kombinasi jangka pendek dan jangka panjang dalam nuansa altruism (semangat untuk membantu dan mementingkan kepentingan orang lain). Seseorang atau banyak orang dari suatu kelompok memiliki semangat membantu yang lain tanpa mengharapkan imbalan seketika. Dalam konsep Islam, semangat semacam ini disebut sebagai keikhlasan. Semangat untuk membantu bagi keuntungan orang lain. Imbalannya tidak diharapkan seketika dan tanpa batas waktu tertentu.
Pada masyarakat, dan kelompok-kelompok sosial yang terbentuk, yang didalamnya memiliki bobot resiprositas kuat akan melahirkan suatu masyarakat yang memiliki tingkat modal sosial yang tinggi. Ini akan juga terefleksikan dengan tingkat keperdulian sosial yang tinggi, saling membantu dan saling memperhatikan. Pada masyarakat yang demikian, permasalahan sosial akan lebih memungkinkan mudah untuk diatasi atau dapat diminimalkan. Keuntungan lain, masyarakat tersebut akan lebih mudah membangun diri, kelompok dan lingkungan sosial serta fisik mereka secara mengangumkan.
  

c. Trust (Kepercayaan)
Trust atau rasa percaya (mempercayai) adalah suatu bentuk keinginan untuk mengambil resiko dalam hubungan-hubungan sosialnya yang didasari oleh perasaan yakin bahwa yang lain akan melakukan sesuatu seperti yang diharapkan dan akan senantiasa bertindak dalam suatu pola tindakan yang saling mendukung, paling tidak, yang lain tidak akan bertindak merugikan diri dan kelompoknya (Putnam, 2002). Dalam pandangan Fukuyama (2002), trust adalah sikap saling mempercayai di masyarakat yang memungkinkan masyarakat tersebut saling bersatu dengan yang lain dan memberikan kontribusi pada peningkatan modal sosial.
Berbagai tindakan kolektif yang di dasari atas rasa saling mempercayai yang tinggi akan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam berbagai ragam bentuk dan dimensi terutama dalam konteks membangun kemajuan bersama. Kehancuran rasa saling percaya dalam masyarakat akan mengundang hadirnya berbagai permasalahan sosial yang serius. Masyarakat yang kurang memiliki perasaan saling mempercayai akan sulit menghindari berbagai situasi kerawanan sosial dan ekonomi yang mengancam. Semangat kolektifitas tenggelam dan partisipasi masyarakat untuk membangun bagi kepentingan kehidupan yang lebih baik akan hilang. Lambat laun akan mendatangkan biaya tinggi bagi pembangunan karena masyarakat cenderung bersikap apatis dan hanya menunggu apa yang diberikan oleh pemerintah. Jika rasa saling mempercayai telah luntur maka yang akan terjadi adalah sikap-sikap menyimpang dari nilai dan norma yang berlaku.
Tentang pentingnya kepercayaan di dalam modal sosial ini Fukuyama berpendapat : Social Capital adalah kapabilitas yang muncul dari kepercayaan umum didalam sebuah masyarakat atau bagian-bagian tertentu darinya. Ia bisa dilembagakan dalam kelompok sosial yang paling kecil dan mendasar demikian juga kelompok-kelompok sosial masyarakat yang paling besar sepert Negara dan dalam seluruh kelompok lain yang ada diantaranya. Social Capital berbeda dengan bentuk-bentuk human capital lain sejauh ia bisa diciptakan dan ditransmisikan melaui mekanisme kultural seperti agama, tradisi, atau kebiasaan sejarah (Badaruddin, 2005;37). Qianhong Fu yang membagi tingkatan trust pada tingkatan individual, tingkatan relasi sosial dan pada tingkatan sistem sosial. Pada tingkatan relasi sumber trust menurut Nahapit dan Ghosal berasal dari adanya nilai-nilai yang bersumber dari kepercayaan agama yang dianut, kompetensi seseorang dan keterbukaan yang telah menjadi norma di masyarakat. Pada tingkat institusi sosial, trust merupakan atribut kolektif untuk mencapai tujuan-tujuan kelompok (Hasbullah, 2006;12). Saling percaya akan kemauan baik dan kesedian untuk saling membantu antara satu dengan yang lainnya merupakan modal sosial.

d. Norma Sosial dan Nilai-Nilai
Norma sosial akan sangat berperan dalam mengontrol bentuk-bentuk perilaku yang tumbuh dalam masyarakat. Pengertian norma itu sendiri adalah sekumpulan aturan yang diharapkan dipatuhi dan diikuti oleh anggota masyarakat pada suatu entitas sosial tertentu. Norma-norma ini biasanya terinstusionalisasi dan mengandung sanksi sosial yang  dapat mencegah individu berbuat sesuatu yang menyimpang dari kebiasaan. Aturan kolektif tersebut biasanya tidak tertulis tapi dipahami oleh setiap anggota masyarakat dan menentukan pola tingkah laku yang diharapkan dalam hubungan sosial.
Aturan-aturan kolektif ini, misalnya, bagaimana cara menghormati orang tua, menghormati pendapat orang lain, norma untuk hidup sehat, norma tidak mencurigai orang lain, dan sebagainya. Jika di dalam suatu komunitas, asosiasi, atau kelompok, norma tersebut tumbuh, dipertahankan dan kuat akan memperkuat masyarakat itu sendiri. Itulah alasan rasional mengapa norma merupakan salah satu unsur modal sosial. 
Nilai adalah suatu yang telah turun temurun dianggap benar dan penting oleh anggota masyarakat. Misalnya, nilai harmonis, prestasi, kerja keras, kompetisi dan lainnya merupakan contoh-contoh nilai yang sangat umum dikenal dalam masyarakat. Nilai senantiasa memiliki kandungan konsekuensi yang ambivalen. Nilai harmonis misalnya yang oleh banyak pihak dianggap sebagai pemicu keindahan dan kerukunan hubungan sosial yang tercipta, tetapi disisi lain dipercaya pula bisa menimbulkan suatu kenyataan yang menghalangi kompetisi dan produktifitas.
Pada kelompok masyarakat yang mengutamakan nilai-nilai harmonis biasanya akan senantiasa ditandai oleh suasana yang rukun, indah, namun dalam kaitannya dengan diskusi pemecahan masalah, tidak produktif.  Modal sosial yang kuat juga sangat ditentukan oleh konfigurasi yang tercipta pada suatu kelompok masyarakat. Jika suatu kelompok memberikan bobot tinggi pada nilai-nilai kompetesi, pencapaian, keterusterangan dan kejujuran, maka kelompok masyarakat tersebut cenderung jauh lebih cepat berkembang dan maju dibandingkan pada kelompok masyarakat yang senantiasa menghindari keterusterangan, kompetisi dan pencapaian.
Francis Fukuyama (dalam Hasbullah, 2006;108) berargumentasi bahwa agama merupakan salah satu sumber utama modal sosial. Perkumpulan-perkumpulan keagamaan sangat potensial untuk menghadirkan dan membangun suatu bentuk dan ciri tertentu dari modal sosial. Ajaran agama merupakan salah satu sumber nilai dan norma yang menuntut prilaku masyarakat. Agama lah yang menjadi sumber utama inspirasi, energi sosial serta yang memberikan ruang bagi terciptanya orientasi hidup penganutnya. Tradisi yang telah berkembang secara turun temurun juga sebagai sumber terciptanya norma-norma dan nilai, serta hubungan-hubungan rasional. Tatanan yang terbangun merupakan produk kebiasaan yang turun temurun, dan kemudian membentuk kualitas modal sosial.

e. Pranata Sosial
Pranata sosial merupakan salah satu unsur penting dari modal sosial selain dari kepercayaan dan jaringan sosial. Pranata atau lembaga adalah sistem-sistem yang menjadi wahana yang memungkinkan warga masyarakat itu untuk berinteraksi menurut pola-pola resmi (Soekanto, 2003). Di dalam pranata warga masyarakat dapat berinteraksi satu sama lain, tetapi sudah diikat oleh aturan-aturan yang telah disepakati bersama. Pranata sosial ini sangat bermacam ragam bentuknya, mulai dari yang tradisional seperti masyarakat adat, sampai pada pranata yang modern seperti partai politik, koperasi, perusahaan, perguruan tinggi dan lain-lain. Menurut Koentjaraningrat (2005) ada 8 (delapan) tipe dari pranata sosial, yaitu:
1.  Pranata yang berfungsi untuk memenuhi keperluan kehidupan kekerabatan yang sering disebut domestic institution.
2.   Pranata-pranata yang berfungsi untuk memenuhi keperluan manusia untuk mata pencaharian hidupnya.
3.    Pranata yang berfungsi memenuhi keperluan pendidikan.
4.   Pranata yang berfungsi memenuhi keperluan ilmiah manusia, atau sering disebut scientific institution.
5.    Pranata yang berfungsi memenuhi keperluan manusia untuk menghayatkan rasa keindahan.
6.    Pranata yang berfungsi memenuhi keperluan manusia untuk berbakti kepada Tuhan.
7.  Pranata yang berfungsi memenuhi keperluan manusia untuk mengatur keseimbangan kekuasaan dalam masyarakat.
8.    Pranata yang berfungsi memenuhi keperluan fisik dan kenyamanan hidup manusia.
Summer (Soekanto, 2003) mengartikan pranata ini sebagai perbuatan, cita-cita, sikap dan perlengkapan kebudayaan bersifat kekal serta bertujuan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan masyarakat. Sosiolog tersebut menyebutkan bahwa ada 3 (tiga) fungsi pranata ini, yaitu:
1.    Memberikan pedoman pada anggota masyarakat bagaimana mereka harus bertingkah laku atau bersikap di dalam menghadapi masalah-masalah dalam masyarakat terutama menyangkut kebutuhan-kebutuhan.
2.    Menjaga keutuhan masyarakat.
3.    Memberikan pegangan kepada masyarakat untuk mengadakan sistem pengendalian sosial.
Suatu pranata supaya dapat tercipta kerjasama, maka harus ada norma-norma yang mengatur. Norma-norma yang ada pada sebuah pranata dapat terbentuk secara sengaja maupun secara tidak sengaja. Norma-norma yang ada di dalam masyarakat mempunyai kekuatan mengikat yang berbeda-beda, ada yang lemah dan ada pula yang kuat ikatannya (Soekanto, 2003).
Norma-norma tersebut di atas akan mengalami suatu proses seiring dengan perjalanan waktu dan pada akhirnya norma-norma itu akan menjadi bagian tertentu dan pranata sosial. Soekanto (2003) mengatakan proses itu disebut dengan istilah institutionalization atau proses pelembagaan, yaitu suatu proses yang dilewati oleh suatu norma yang baru untuk menjadi bagian dari salah satu pranata sosial. Pranata sosial dianggap sebagai peraturan apabila norma-norma tersebut membatasi serta mengatur perilaku orang-orang di dalam lingkungan pranata itu berada (Soekanto, 2003). Proses pelembagaan sebenarnya tidak berhenti demikian saja, akan tetapi dapat berlanjut lebih jauh lagi hingga suatu norma kemasyarakatan tidak hanya melembaga saja dalam kehidupan masyarakat, namun telah menginternalisasi di dalam kehidupannya. Norma hukum pada dasarnya bertujuan untuk mencapai kedamaian hidup bersama, yang merupakan keserasian antara ketertiban dan ketentraman.
Hubungan antara manusia di dalam suatu masyarakat terlaksana sebagaimana diharapkan, maka diciptakanlah norma-norma yang mempunyai kekuatan mengikat yang berbeda-beda. Untuk dapat membedakan kekuatan mengikat norma-norma tersebut dikenal ada empat pengertiannya, yaitu: Cara, kebiasaan, tata kelakuan dan adat (Soekanto, 2003). Masing-masing pengertian tersebut mempunyai dasar yang lama, yakni merupakan norma-norma kemasyarakatan yang memberikan petunjuk bagi tingkah laku seseorang di dalam kehidupannya dengan masyarakat.
Dalam masyarakat Batak, onan merupakan pranata yang sudah mapan. Selain sebagai fungsi perdagangan (tempat transaksi jual beli), juga berfungsi sebagai wadah pergaulan sosial di antara anggota kelompok suku dan di antara wilayah yang saling bermusuhan dan bahkan yang secara formal berperang, ditegakkan dan dipertahankan melalui “kedamaian pasar (onan)”.

Pentingnya Modal Sosial

Semua kelompok masyarakat pada hakekatnya mempunyai potensi-potensi sosial budaya yang kondusif dan dapat menunjang pembangunan (Berutu, 2002). Potensi ini terkadang terlupakan begitu saja oleh kelompok masyarakat sehingga tidak dapat difungsikan untuk tujuan-tujuan tertentu. Tetapi banyak juga kelompok masyarakat yang menyadari akan potensi-potensi sosial budaya yang dimilikinya, sehingga potensi-potensi tersebut dapat dimanfaatkan secara arif bagi keperluan kelompok masyarakat itu sendiri. Salah satu potensi sosial budaya tersebut adalah modal sosial. Secara sederhana modal sosial merupakan kemampuan masyarakat untuk mengorganisir diri sendiri dalam memperjuangkan tujuan mereka.
Modal sosial bisa dikatakan sebagai sumber daya sosial yang dimiliki oleh masyarakat. Sebagai sumber daya, modal sosial ini memberi kekuatan atau daya dalam beberapa kondisi-kondisi sosial dalam masyarakat. Sebenarnya dalam suatu komunitas telah dikenal beberapa jenis modal, yaitu natural capital (sumber daya alam), human capital (sumber daya manusia), dan financial/economic capital (sumber daya ekonomi)l. Modal sosial (social capital) akan dapat mendorong modal-modal di atas untuk digunakan lebih optimal lagi.
Ibrahim, (2006) menyatakan hakikat dari modal sosial adalah hubungan sosial yang terjalin dalam kehidupan sehari-hari warga masyarakat. Hubungan sosial mencerminkan hasil interaksi sosial dalam waktu yang relatif lama sehingga menghasilkan jaringan pola kerjasama, pertukaran sosial, saling percaya, termasuk nilai dan norma yang mendasari hubungan sosial tersebut.  Sebagai mahluk sosial tidak ada individu yang hidup sendiri tanpa berinteraksi dengan orang lain. Oleh sebab itu tidak ada satu masyarakat atau  komunitas yang tidak memiliki modal sosial. Pola hubungan sosial inilah yang mendasari kegiatan bersama atau kegiatan kolektif antar warga masyarakat. Dengan demikian, masyarakat tersebut mampu mengatasi masalah mereka bersama-sama (partisipasi aktif).
Menurut Lesser (2000), modal sosial ini sangat penting bagi komunitas karena beberapa hal berikut :
1.    memberikan kemudahan dalam mengakses informasi bagi anggota komunitas;
2.    menjadi media power sharing atau pembagian kekuasaan dalam komunitas;
3.    mengembangkan solidaritas;
4.    memungkinkan mobilisasi sumber daya komunitas;
5.    memungkinkan pencapaian bersama; dan
6.    membentuk perilaku kebersamaam dan berorganisasi komunitas.
Modal sosial merupakan suatu komitmen dari setiap individu untuk saling terbuka, saling percaya, memberikan kewenangan bagi setiap orang yang dipilihnya untuk berperan sesuai dengan tanggungjawabnya. Sarana ini menghasilkan rasa kebersamaan, kesetiakawanan, dan sekaligus tanggungjawab akan kemajuan bersama.
Manusia belum disebut manusia yang sebenarnya, bila ia tidak ada dalam suatu masyarakat, karena itu pula maka manusia disebut sebagai makhluk sosial. Manusia pada dasarnya tidak dapat memenuhi seluruh kebutuhannya dengan baik tanpa hidup bermasyarakat. Sejak lahir, manusia membutuhkan pertolongan manusia lain, sampai dewasa dan meninggal (dan dikubur), ia pun tetap membutuhkan manusia lain. Kemandirian manusia tidak diartikan sebagai hidup sendiri secara tunggal, tapi hidup harmonis dan adaptif dalam tatanan kehidupan bersama. Seperti yang dikemukakan oleh Fairchild (1980) masyarakat merujuk pada kelompok manusia yang memadukan diri, berlandaskan pada kepentingan bersama, ketahanan dan kekekalan/kesinambungan.
Kebersamaan, solidaritas, toleransi, semangat bekerjasama, kemampuan berempati, merupakan modal sosial yang melekat dalam kehidupan bermasyarakat. Hilangnya modal sosial tersebut dapat dipastikan kesatuan masyarakat, bangsa dan negara akan terancam, atau paling tidak masalah-masalah kolektif akan sulit untuk diselesaikan. Kebersamaan dapat meringankan beban, berbagi pemikiran, sehingga dapat dipastikan semakin kuat modal sosial, semakin tinggi daya tahan, daya juang, dan kualitas kehidupan suatu masyarakat. Tanpa adanya modal sosial, masyarakat sangat mudah diintervensi bahkan dihancurkan oleh pihak luar.
Sementara menurut Putnam (dalam Ikhsan, 2007) menyatakan bahwa dampak positif dari penerapan dan pengembangan modal sosial, adalah :
a.    menumbuhkan semangat charity (amal)
b.    memicu volunteerism (kesukarelawanan)
c.    membangun civil involvement (keterlibatan warga).
Isu pentingnya modal sosial ini juga telah merasuk dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Pembangunan Sosial di Kopenhagen 12 Maret 1995. Konferensi ini mengingatkan, modal sosial telah luput dari timbangan penyelenggaraan pemerintahan yang terlalu lama menjadikan pembangunan sebagai “ideologi”. Konferensi ini mengedepankan kata kunci “modal sosial” dalam tiga agenda pokoknya: mengurangi kemiskinan, menciptakan angkatan kerja produktif, dan meningkatkan integrasi sosial.  Sebab dibalik kemakmuran yang dijanjikan oleh “modernisme”, masih bergelimang berbagai masalah ekonomi, kemiskinan dan penggangguran yang pada suatu saat mengakibatkan munculnya disintegrasi sosial.
Demikian juga dengan Bank Dunia, akhir-akhir ini santer meneriakkan  isu “modal sosial”. Para ahli sosial-ekonomi di Bank Dunia  yang telah melakukan berbagai penelitian mengenai praktik-praktik pembangunan dan penanggulangan kemiskinan, umumnya memberi penilaian positif terhadap penerapan konsep modal sosial sebagai sebuah pendekatan pembangunan yang berpengaruh pada peningkatan produktivitas ekonomi sebuah komunitas.
Inkeles (2001) mencoba mengukur modal sosial dalam skala yang lebih besar, yaitu dalam populasi nasional atau negara. Bukti-bukti yang ia temukan dari sebanyak 40 negara sebagai sampelnya menunjukkan bahwa negara dengan tingkat individualisme yang tinggi, pendapatannya yang rendah dan kebebasan yang tertekan, sedangkan negara-negara dengan nilai-nilai sosial yang positif memiliki pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi dan pemerintahan demokratis yang stabil. Nilai-nilai sosial yang positif dalam sebuah negara yang ia maksudkan dapat dilihat dari besarnya tingkat kepercayaan dalam masyarakat dan organisasi-organisasi sosial yang eksis. Dari apa yang dikemukakan Inkeles (2001) terlihat bahwa negara dengan tingkat modal sosial yang tinggi mampu mendorong ke arah tingginya tingkat pertumbuhan ekonominya dan kestabilan demokrasinya. Modal sosial tersebut banyak ditemukan dalam komunitas yang antar masyarakatnya terjalin komunikasi dan interaksi, baik melalui organisasi maupun asosiasi-asosiasi. Sedangkan di dalam masyarakat individualistis, dengan interaksi sosial yang jarang, modal sosial tidak optimal, kecuali melalui institusi-institusi formal yang memang secara resmi sudah diikat oleh aturan-atuaran baku.
Tanda bahwa modal sosial ini menarik adalah bukti empiris yang menunjukkan modal sosial ini memiliki kontribusi terhadap pembangunan ekonomi. Torsvik (Simarmata, 2009) mengatakan, siapapun yang menulis tentang modal sosial pasti setuju bahwa modal sosial harus dibedakan dari pengukuran ekonomi yang standar, seperti modal fisik dan modal manusia. Modal sosial sebagai missing link dalam pembangunan ekonomi, karena antara modal sosial dan produktivitas, terdapat jaringan. Modal sosial memberikan sebuah potensi besar bagi produktivitas, karena modal sosial memiliki kegunaan efisiensi dalam setiap tindakan, yang terjalin oleh adanya kepercayaan, niat baik dan kerjasama dalam masyarakat. Kepercayaan merupakan sebuah variable ekonomi yang penting. Alasannya adalah kepercayaan memainkan peranan penting dalam produksi, karena hal itu dapat mengurangi biaya transaksi dalam aktivitas ekonomi. 

Disampaikan dalam Sosialisasi dan Pembekalan Teknis WKSBM Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Bontang,  tanggal 14-15 juni 2012



Referensi :
Ancok, Djamaludin, Konsep Modal Manusia, http://ancok.staff.ugm.ac.id/h-18/konsep-modal-manusia.html
Hasbullah, Jousairi. 2006. Social Capital (Menuju Keunggulan Budaya Manusia Indonesia). MR-United Press. Jakarta



5 komentar:

  1. terimakasih kang, ulasan social capitalnya sangat jelas.

    BalasHapus
  2. Tulisan ini sebagian besar sama dg tulisan Witrianto, S.S., M.Hum., M.Si.
    Siapa yg melakukan plagiat ? Witrianto atau Hotibin ?

    Bisa dilihat tulisan witrianto di http://witrianto.blogdetik.com/2010/12/08/modal-sosial-dan-pembangunan-manusia-indonesia/

    BalasHapus
  3. Yuk Merapat Best Betting Online Hanya Di AREATOTO
    Dalam 1 Userid Dapat Bermain Semua Permainan
    Yang Ada :
    TARUHAN BOLA - LIVE CASINO - SABUNG AYAM - TOGEL ONLINE ( Tanpa Batas Invest )
    Sekedar Nonton Bola ,
    Jika Tidak Pasang Taruhan , Mana Seru , Pasangkan Taruhan Anda Di areatoto
    Minimal Deposit Rp 20.000 Dan Withdraw Rp.50.000
    Proses Deposit Dan Withdraw ( EXPRES ) Super Cepat
    Anda Akan Di Layani Dengan Customer Service Yang Ramah
    Website Online 24Jam/Setiap Hariny

    BalasHapus